Rabu, 23 Desember 2015

Koleksi



Saya baru saja mengirim paket tujuan Surabaya sebelum mulai menulis ini. Sebuah paket berisikan jersey Inggris Raya ‘yang terpaksa’ saya lelang di facebook. Saya senang sekaligus puas, setelah saya cek ulang, dulunya saya mendapatkan jersey itu seharga Rp. 120.000 termasuk ongkos kirim (ongkir.) Sekarang laku Rp. 147.000 dengan ongkir juga. Ya, selain harga, puas juga menyaksikan beberapa orang yang nge-bid melewati batas waktu. Itu artinya lelangan saya mendapat atensi khusus.

            Entah sejak kapan perkenalan saya dengan dunia jersey, tapi yang jelas, kalau dengan dunia lelang saya baru mulai tahun 2013. Setelah diingat-ingat lagi lemari baju saya di rumah berisi bertumpuk-tumpuk jersey yang kebanyakan produksi lokal, misal Auri, Multisport, dan lain-lainnya. Jika tak salah ingat, saya membeli jersey (sendiri) untuk kali pertama adalah di Jogja. Kira-kira pada medio 2007, saat tur liburan SMP. Merk lokal pula, klubnya saya tak ingat betul. Tapi kalau belum bepindah tangan, ya, pastilah masih di rumah.

            Beranjak SMA, hobi saya yang satu itu, eh, apa tepat disebut hobi? Ya pokoknya kegiatan mengumpulkan jersey itu, tetap berlanjut. Malah sedikit menggila, jika dulu hanya membeli jersey klub yang sedang ramai dibicarakan atau yang disenangi, waktu itu saya membeli semua jersey dengan desain keren. Ya, jadilah seragam tanding klub dari berbagai liga saya punyai. Saat itu, jersey dengan kategori grade ori ataupun KW Thailand belum setenar sekarang. Dan untuk mendapatkannya pun tidak mudah.

            Untuk mendapatkan jersey dengan kualitas KW ditambah nomer punggung dan nama sendiri saja membutuhkan mahar hampir 300rb-an. Bandingkan dengan sekarang, dengan 90ribu saja sudah cukup, bahkan dengan tambahan patch di kiri-kanannya. Memakainya pun senang bukan kepalang, serasa memakai jas dengan setelan lengkap. Sekarang jersey-jersey KW sudah mulai redup, entah itu yang top grade, low grade, dan antek-anteknya itu.

            Yang mulai ramai lagi adalah jersey original, original yang sebenar-benarnya—tanpa ada embel-embel low, top, apalagi vendor. Cukup murah harganya, jika di gerai resmi mencapai 700-an ribu, harganya ada di kisaran 300-an ribu. Tapi, ya, biasanya tidak pada musim yang sama keluarnya. Jadi begini, misal Jersey Leicester City—yang sedang di puncak klasemen—itu sekarang dihargai 650ribu, tahun depan bisa jadi hanya 250ribu saja.

            Kenapa begitu? Saya pun belum tahu betul alasannya. Tapi yang dijual memang asli..sliii. Bisa dicek dengan memakai kode batang yang ada di dalamnya. Bisa jadi itu adalah barang yang diselundupkan tanpa melalui bea cuki, atau pun barang-barang yang diselinapkan oleh orang dalam. Nampaknya agak berbeda dengan praktek sepatu-asli-dengan-harga-murah. Biasanya sepatu yang dijual murah adalah yang tidak lolos standarisasi pabrik, tapi sering juga ‘dirusak’ oleh karyawannya sendiri, tentu saja agar bisa ‘dibawa lari.’ Tapi jersey berbeda, sejauh yang saya miliki, tidak ada cacat sama sekali. Bahkan saya kerap menerima yang masih perawan, masih bersegel.

            Kegiatan saya dalam mengumpulkan jersey nampaknya menular kepada adik lelaki saya. Bahkan mungkin lebih parah dari tertular. Teman-teman sebayanya bahkan ada yang mengoloknya “apa tidak punya baju lain.” Karena memang baju bolanya lebih banyak dari kaos lainnya. Kemana-mana dipakainya baju bola itu: ke sekolah, ke tempat mengaji, bahkan ke tempat bermain. Ya, pantaslah diolok-olok macam begitu.

            Ada beberapa kesamaan dan perbedaan antara saya dengannya dalam hobi yang satu ini. Dia tidak hanya membeli jersey klub kesukaannya, tapi juga klub-klub dengan desain ciamik nan aduhai. Yang membedakan, ya, hanya klub yang didukung. Saya di sisi London biru, dia Manchester merah. Tidak jarang saya memakai ‘koleksi’ yang dipunyainya, begitu pun juga sebaliknya. Tubuhnya 11 12 sekarang, ya, bedanya kalau saya sedikit lebih berisi. Begitu.

             Satu lagi kegiatan yang mulai saya geluti adalah mengumpulkan buku, khususnya milik penulis kenamaan dan sedang dalam kategori langka. Ya, hanya saya kumpulkan saja. Sesekali memang dibaca, tapi kan sayang kalau sampai kertasnya sobek. Dulu sekali, saat buku Tetralogi Buru sedang benar-benar langka, saya yang tidak mampu membeli, hanya bisa menandaskannya dari buku pinjaman perpus. Begitu saya punya cukup uang, saya membeli keempatnya sekaligus. Pada waktu itu tergolong mahal, satu buku dihargai Rp. 200.000, jadilah empat buku itu satu juta kurang.

            Buku itu saya dapatkan pakai uang sendiri, karena tidak mungkin saya mengemis kepada orang tua saya untuk mebelikannya. Selain terlampau mahal, mereka akan dengan enteng berkata, “Haalaaah, palingan juga tidak dibaca!” Jadi saya memetuskan untuk membelinya dengan uang sendiri. Saya mendapatkan laba sebegitu banyak dari hasil menjual kaos kelas punya adik saya. Lumayanlah hasilnya. Eh, bajindulnya sekarang buku itu dicetak ulang, juga bisa didapatkan dengan mudah dan dengan harga yang wajar.

Rencananya, uang yang saya dapatkan dari lelangan juga akan saya belikan beberapa buku. Tentu kalau untuk sekadar makan tidak akan pernah cukup. Ada saran?


Panggungharjo, 23 Desember 2015

2 komentar:

  1. Menulis tentang hobi, sebagai salah satu cara merayakan hari lahir?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salah.
      Sebentuk apresiasi diri dengan membeli secara sendiri dan mandiri. Sebab kebutuhan dan kesenangan adalah ego pribadi.

      Hapus