Senin, 02 Maret 2015

Ruang Ketjil


Sebelum memulai tulisan ini, ada baiknya saya menyampaikan permintaan maap yang sebesar-besarnya kepada ‘kakak-kakak’ atau ‘pendahulu’ dari tulisan yang sedang dikerjakan ini. Mengapa pula harus minta maap? Begini, sesungguhnya tulisan ini adalah tulisan termuda yang akhirnya dapat terselesaikan dan dipublish. Sedangkan, ‘para pendahulunya’ belum selesai dan tidak tersentuh selama sebulan lamanya. Pamali. Kakak-kakaknya saja belum, lah ini adeknya udah ngeksis duluan.

Sekedar informasi, dalam budaya Sunda ada yang dikenal dengan istilah Ngarunghal. Ngarunghal ini adalah kebiasaan untuk seorang adik jika ingin menikah mendahului kakaknya, harus terlebih dahulu diadakan upacara permintaan maap kepada sang kakak, atau bisa juga dengan membayar ‘ongkos’ pelangkah, boleh berupa barang ataupun uang. Hal yang serupa juga terjadi di Bali, khususnya pada agama Hindu. Konon katanya, bagi yang melangkahi atau dilangkahi akan terkena siyal. Oleh sebab itu ijinkan saya haturkan permohonan maap yang sebesar-besarnya kepada tulisan-tulisan terdahulu. Semoga kamu enggak kena sial, Dik.




Jadi begini, dalam perjalanan pulang sehabis 'berburu' sore tadi, saya putuskan membeli satu sachet kopi Kapal Air (bukan merk sebenarnya). Dispenser saya nyalakan, dan dimana para gelas berada?  Ternyata para gelas nangkring didepan kamar, kotor, penuh semut dan menungging layaknya para sundal yang menunggui pelanggannya di bahu jalan. Dengan berat hati, akhirnya saya bersihkan terlebih dahulu para 'sundal' sebelum hendak memakainya. Lampu dispenser berganti dari merah menjadi biru, menandakan air sudah panas.

Tidak ada stock gula untuk hari ini. Sial, gerutu saya dalam hati. Memaksakan diri menerobos hujan untuk membeli gula bukanlah pilihan yang baik, tidak baik untuk kesehatan juga untuk kantong mahasiswa di akhir bulan seperti ini. Banyak penikmat kopi yang menganggap gula atau pemanis lainnya adalah musuh terbesar kopi, atau lebih sering didramitisir menjadi pendustaan terhadap kopi. Dan yang paling parah, pecinta kopi golongan ekstrimis menyebutnya dengan menyekutukan kopi. Ah masa bodo, pikir saya. Kan, setiap orang punya caranya sendiri untuk menikmati kopi.

    Ketika hendak menaburkan kopi ke dalam gelas, tiba-tiba saya teringat kopi termanis yang saya tandaskan sore tadi. Manis, namun bukan dalam arti yang sebenarnya. Bukan karena gula yang terlalu banyak. Juga bukan karena makanan serba manis yang dihidangkan bersamanya. Manis karena berhasil mempertemukanku dengannya. Dan pada kopi yang sekarang ini, tak peduli berapa banyak gula–jika saja jadi membeli--yang ditaburkan, tentu manisnya tidak akan mengalahkan, bahkan menyerupai kopi yang sore tadi kau antarkan pun rasanya tak akan bisa.

                                                                                **
    Siang itu cuaca cukup cerah, nampaknya agenda berburu untuk hari ini dapat dilaksanakan. Dengan segera tubuh dihempaskan masuk ke dalam kamar mandi. Mandi pagi yang agak siang, hampir sore lebih tepatnya. Tidak butuh waktu lama untuk memperelok diri, sudah tidak ada rambut yang perlu diminyaki, tampil seadanya namun tetap pantas. Awan mendung menggantung di utara. Ah hujan! Jangan hari ini. Baru seperempat jalan, hujan turun tanpa ampun. Segera jas hujan ku keluarkan. Asem! bukan pertanda baik menjelang perburuan.

    Sesampainya di tempat tujuan samar terdengar suara adzan, kalah kencang dari klakson para pengendara yang takut kehabisan lampu hijau. Di parkiran berdiri seorang satpam yang sedang menikmati rokoknya yang tinggal setengah. "Permisi, Pak." Teguranku mengagetkannya, hampir jatuh rokok yang digenggamnya. "Mushola sebelah mana ya, Pak?" Setelah  mendapat petunjuk ke arah tempat mushola berada, saya melenggang seraya mengucap terima kasih. Aih, ruang sekecil itu digunakan sebagai mushola. Kelihatannya hanya muat untuk 2 orang.

    Di dalamnya seorang laki-laki paruh baya sedang sembahyang, dan seorang perempuan yang mengantri di luar, umurnya kira-kira satu atau dua tahun lebih tua dari saya. Mukena dan sajadah ia taruh di atas jok motor. Pandangan saya tidak dapat terlepas darinya. Tidak tahu berapa lama sudah mata tak berpindah dari arahnya. Kemudian, ia tersenyum! Sial! Malu betul saya tertangkap basah sedang curi-curi pandang. Dengan perasaan malu, saya membalas senyumnya lalu tertunduk. Keasikan memendang sampai  malah lupa hendak berwudlu. "Mas, saya dulu ya.." Tiba-tiba ia memotong langkah saya.”Ohiya silahkan, Mbak.”. Mulanya saya pikir ia sudah berwudlu dan tinggal menunggu giliran sholat.

    Saya duduk menunggu di salah satu motor yang terparkir. Sesekali saya curi-curi pandang kembali, kali ini jangan samapai ketahuan lagi! Peniti di jilbab biru donker ia lepas, rambutnya sedikit keluar –lurus dan sedikit bergelombang pada ujungnya. Saya perhatikan caranya berwudlu, pelan tapi pasti. Celana jeans hitam ia gulung ke atas. Hari itu dipakainya baju putih bergaris biru ditambah cardigan hitam. Aih simple tapi tetap terlihat elegant. Serapih ini pasti sedang berkencan dengan pacarnya, pikir saya. Tapi dimana dia berada? Tidakkah hendak mengimami pacarnya ini? Tiba-tiba pikiran itu menyadarkan lamunan saya. Dan sekaligus... ada yang menggejolak di hati saya.

    Saat menunggui antrian shalat, datang lagi seorang perempuan. Kali ini ibu-ibu. Bertanya pada saya dimana letak tempat wudlu, dengan sedikit menunduk saya tunjukan arahnya. Tempat wudlu yang cuma memiliki satu keran. Selang beberapa menit, perempuan yang di dalam, sudah selesai shalat. Saat ia keluar, pandangan sengaja tidak saya arahkan kepadanya. "Monggo, Mas. Saya sudah selesai." Sial, saat hendak menghindar, ia justru mendekat. Ini adalah kali kedua ia membuat saya salah tingkah. Agar tak kehilangan tanah untuk berpijak, saya berusaha tetap tenang dan melempar sedikit senyum. Senyum yang berbeda dari senyum pertama! Ia membalas sambil berlalu.

    Saat masuk ke tempat perburuan,  perempuan yang tadi tidak saya temukan. Hampir saja saya memutuskan untuk pulang saja karena kecewa. Namun niat itu urung saya lakukan karena  kembali teringat pada niat yang sudah diucapakan pagi tadi: Malam ini harus dapat buruan, barang satu atau dua rusa!

    Namun kekecawaan sedikit banyak telah merusak mood berburu saya. Dapat satu rusa, tapi baru habis setengah sudah saya tinggalkan. Berpindah kepada jenis rusa yang lain juga sama saja, malah lebih parah, hanya habis seperempat. Di tempat ini dalam satu hari, biasanya saya bisa menghabiskan satu sampai dua ekor sekaligus. Teman saya lebih ekstrim lagi, dia bisa menghabiskan 5 samapai 7 ekor rusa gemuk! Walaupun terkadang saya merasa tak enak hati tidak mengindahkan anjuran yang tertempel pada pintu masuk. "Dibuka lan Dituku." (Dibuka dan Dibeli.) Sesekali dan tidak merusak keutuhan rusa-rusa saya rasa tak apalah.

    Di lantai dua tempat berburu ini terdapat warung kopi. Dan saya lebih tertarik menikmati secangkir kopi dan rusa hasil berburu beberapa hari  yang lalu daripada mencari rusa baru. Saya memilih tempat yang tidak begitu ramai, persis di utara warung kopi. Seorang pelayan  datang mengantar menu dan mencatat pesanan saya: Kopi hitam dan Pisang bakar coklat keju. Sembari menunggu pesanan, saya keluarkan rusa buruan. Lima belas menit waktu berlalu, dan belum juga berhasil menikmati rusa yang tergolek lemah di atas meja. Setelah 20 menit, akhirnya saya berhasil menikmati plus terlepas dari bayang-bayang perempuan yang saya jumpai saat hendak shalat tadi. Dari kejauhan terdengar suara kaki yang diseret, mengarah ke tempat saya. Mungkin hendak mengantarkan pesanan.

    Saya kaget bukan main  ketika mengetahui yang mengantarkan pesanan saya adalah  si perempuan yang saya cari-cari. "Silahkan, Mas." Dari mimik wajahnya saya jumpai kekagetan. Kaget karena bertemu kembali dengan saya, dan kali ini di tempat kerjanya! Entah untuk yang ke berapa kali saya lemparkan senyum kepadanya! Ia kembali membalas, berlalu dengan agak sedikit terburu-buru.

Kopi mengeluarkan aroma yang sedap, disampingnya tersedi gula dalam wadah kecil. Bukannya menyeruput kopi, saya malah kembali melamun. Menyesali tak menahannya lebih lama, sekedar menanyakan nama dan berbasa-basi barang sebentar! Sumpah seramapah saya arahkan kepada diri saya. Lagi-lagi saya kehilangan kesempatan. Berbagai macam pikiran menggelayut di otak saya. Mungkin di lain kesempatan saya tidak bisa berjumpa lagi dengannya. Mungkin ia sedang bersembunyi entah dimana. Mungkin ini adalah hari terakhirnya bekerja disini. Mungkin, mungkin, mungkin, dan kemungkinan lainnya. Tapi satu hal yang melegakan hati saya. Ternyata dia tidak sedang berkencan, seperti yang saya prediksikan sebelumnya.

    Saya gelisah. Ada yang menggejolak di hati saya. Ruang kecil yang saya tutupi berguncang. Semudah ini kah dia berhasil mengisi ruang kecil yang sengaja saya kosongkan? Semudah ini? Wahai perempuan yang baru saya jumpai beberapa jam yang lalu?

Satu jam lebih saya tenggelam dalam lamunan. Kopi yang diantarkannya tandas, yang tersisa hanya ampas-ampas di dasar gelas. Pisang bakar tersisa satu, sudah dingin dan mengurangi keeksotisannya. Akhirnya tidak saya makan. Pada kopi tidak saya tambahkan gula begitu banyak, tapi tidak dapat dibohongi rasanya, manis bukan main. Entah karena baristanya yang pintar meracik kopi, atau karena si pengantar kopinya. Pikiran saya masih belum bisa berpaling dari si pengantar. Bagaimanpun ia sudah berhasil mengisi ruang kecil di hati saya. Lalu, jika saya bertemu lagi dengannya haruskah saya berkenalan dengannya? Atau menyudahi keinginan untuk mengenalnya lebih dekat? Ah sudahlah, hari sudah malam. Saya harus segera pulang.

Saya berjalan menuju kasir, pintu belakang tempat naik tadi ternyata sudah ditutup. Beberapa meja juga sudah kosong, hanya menyisakan gelas-gelas kotor sisa pelanggan yang lain. Betapa kaget--benar-benar kaget—ternyata yang menjaga masih perempuan yang tadi. Saya sempat membisu beberapa saat. Kali ini ia memakai kacamata, terlihat lebih seksi  dari sebelumnya. Aduhaii Manisnya. “Jadi totalnya 23ribu, Mas.” Dan kata-kata itu mencairkan kebisuan. Saya keluarkan uang 50ribuan dan diberikannya kembalian. “Terima kasih sudah berkunjung.” Dengan sedikit terburu saya pun bergegas.

Tolol! Kesempatan terbuka seperti itu masih belum juga bisa dimanfaatkan untuk berkenalan! Takutkah hendak berkenalan? Lelaki macam apa aku ini, berkenalan pun takut. Ah, tapi tadi kan posisinya pembeli dan penjual, masa hendak berkenalan. Kan tidak etis. Ah alasan kau ini! Sepanjang jalan (lagi-lagi) tidak hentinya sumpah serapah mengutuk kepada diri saya sendiri. Bahkan namanya pun tidak tahu.

                                                                             **

Tapi apalah artinya sebuah nama ya kan? Untuk menghibur diri sendiri dan menutup tulisan ini, saya mengutip kata-kata Ayu Utami pada novel Saman-nya: “Adakah keindahan perlu dinamai?” Jadi, biarkan ia yang tidak saya beri nama atau lebih tepatnya tidak saya tahu namanya, tetap hidup dalam ruang kecil di hati yang sengaja saya kosongkan.


   Yogyakarta, 1 Maret 2015
Saat hujan turun tidak begitu deras.

0 komentar:

Posting Komentar