Saya baru saja mengirim
paket tujuan Surabaya sebelum mulai menulis ini. Sebuah paket berisikan jersey
Inggris Raya ‘yang terpaksa’ saya lelang di facebook.
Saya senang sekaligus puas, setelah saya cek ulang, dulunya saya
mendapatkan jersey itu seharga Rp. 120.000 termasuk ongkos kirim (ongkir.)
Sekarang laku Rp. 147.000 dengan ongkir juga. Ya, selain harga, puas juga menyaksikan
beberapa orang yang nge-bid melewati
batas waktu. Itu artinya lelangan saya mendapat atensi khusus.
Entah sejak kapan perkenalan saya dengan dunia jersey,
tapi yang jelas, kalau dengan dunia lelang saya baru mulai tahun 2013. Setelah
diingat-ingat lagi lemari baju saya di rumah berisi bertumpuk-tumpuk jersey
yang kebanyakan produksi lokal, misal Auri, Multisport, dan lain-lainnya. Jika
tak salah ingat, saya membeli jersey (sendiri) untuk kali pertama adalah di
Jogja. Kira-kira pada medio 2007, saat tur liburan SMP. Merk lokal pula,
klubnya saya tak ingat betul. Tapi kalau belum bepindah tangan, ya, pastilah
masih di rumah.
Beranjak SMA, hobi saya yang satu itu, eh, apa tepat disebut
hobi? Ya pokoknya kegiatan mengumpulkan jersey itu, tetap berlanjut. Malah sedikit
menggila, jika dulu hanya membeli jersey klub yang sedang ramai dibicarakan
atau yang disenangi, waktu itu saya membeli semua jersey dengan desain keren. Ya, jadilah seragam tanding klub
dari berbagai liga saya punyai. Saat itu, jersey dengan kategori grade ori
ataupun KW Thailand belum setenar sekarang. Dan untuk mendapatkannya pun tidak
mudah.
Untuk mendapatkan jersey dengan kualitas KW ditambah
nomer punggung dan nama sendiri saja membutuhkan mahar hampir 300rb-an.
Bandingkan dengan sekarang, dengan 90ribu saja sudah cukup, bahkan dengan
tambahan patch di kiri-kanannya.
Memakainya pun senang bukan kepalang, serasa memakai jas dengan setelan
lengkap. Sekarang jersey-jersey KW sudah mulai redup, entah itu yang top grade,
low grade, dan antek-anteknya itu.
Yang mulai ramai lagi adalah jersey original, original
yang sebenar-benarnya—tanpa ada embel-embel low,
top, apalagi vendor. Cukup murah harganya, jika di gerai resmi mencapai
700-an ribu, harganya ada di kisaran 300-an ribu. Tapi, ya, biasanya tidak pada
musim yang sama keluarnya. Jadi begini, misal Jersey Leicester City—yang sedang
di puncak klasemen—itu sekarang dihargai 650ribu, tahun depan bisa jadi hanya
250ribu saja.
Kenapa begitu? Saya pun belum tahu betul alasannya. Tapi
yang dijual memang asli..sliii. Bisa dicek dengan memakai kode batang yang ada
di dalamnya. Bisa jadi itu adalah barang yang diselundupkan tanpa melalui bea
cuki, atau pun barang-barang yang diselinapkan oleh orang dalam. Nampaknya agak
berbeda dengan praktek sepatu-asli-dengan-harga-murah. Biasanya sepatu yang
dijual murah adalah yang tidak lolos standarisasi pabrik, tapi sering juga ‘dirusak’
oleh karyawannya sendiri, tentu saja agar bisa ‘dibawa lari.’ Tapi jersey
berbeda, sejauh yang saya miliki, tidak ada cacat sama sekali. Bahkan saya
kerap menerima yang masih perawan, masih bersegel.
Kegiatan saya dalam mengumpulkan jersey nampaknya menular
kepada adik lelaki saya. Bahkan mungkin lebih parah dari tertular. Teman-teman
sebayanya bahkan ada yang mengoloknya “apa tidak punya baju lain.” Karena
memang baju bolanya lebih banyak dari kaos lainnya. Kemana-mana dipakainya baju
bola itu: ke sekolah, ke tempat mengaji, bahkan ke tempat bermain. Ya,
pantaslah diolok-olok macam begitu.
Ada beberapa kesamaan dan perbedaan antara saya dengannya
dalam hobi yang satu ini. Dia tidak hanya membeli jersey klub kesukaannya, tapi
juga klub-klub dengan desain ciamik nan aduhai. Yang membedakan, ya, hanya klub
yang didukung. Saya di sisi London biru, dia Manchester merah. Tidak jarang
saya memakai ‘koleksi’ yang dipunyainya, begitu pun juga sebaliknya. Tubuhnya
11 12 sekarang, ya, bedanya kalau saya sedikit lebih berisi. Begitu.
Satu lagi kegiatan
yang mulai saya geluti adalah mengumpulkan buku, khususnya milik penulis kenamaan
dan sedang dalam kategori langka. Ya, hanya saya kumpulkan saja. Sesekali memang
dibaca, tapi kan sayang kalau sampai
kertasnya sobek. Dulu sekali, saat buku Tetralogi Buru sedang benar-benar
langka, saya yang tidak mampu membeli, hanya bisa menandaskannya dari buku
pinjaman perpus. Begitu saya punya cukup uang, saya membeli keempatnya
sekaligus. Pada waktu itu tergolong mahal, satu buku dihargai Rp. 200.000,
jadilah empat buku itu satu juta kurang.
Buku itu saya dapatkan pakai uang sendiri, karena tidak
mungkin saya mengemis kepada orang tua saya untuk mebelikannya. Selain
terlampau mahal, mereka akan dengan enteng berkata, “Haalaaah, palingan juga
tidak dibaca!” Jadi saya memetuskan untuk membelinya dengan uang sendiri. Saya
mendapatkan laba sebegitu banyak dari hasil menjual kaos kelas punya adik saya.
Lumayanlah hasilnya. Eh, bajindulnya sekarang buku itu dicetak ulang, juga bisa
didapatkan dengan mudah dan dengan harga yang wajar.
Rencananya, uang yang
saya dapatkan dari lelangan juga akan saya belikan beberapa buku. Tentu kalau
untuk sekadar makan tidak akan pernah cukup. Ada saran?
Panggungharjo,
23 Desember 2015
Menulis tentang hobi, sebagai salah satu cara merayakan hari lahir?
BalasHapusSalah.
HapusSebentuk apresiasi diri dengan membeli secara sendiri dan mandiri. Sebab kebutuhan dan kesenangan adalah ego pribadi.