![]() |
Sumber: http://goo.gl/B3ZCuH |
“Bagaimana
dengan orang-orang lain?.... Mereka menjual tanahnya untuk menghidupi anak-anak
mereka yang tinggal di kota. ..... Apa yang akan terjadi ketika krisis terulang
dan terulang lagi? Ketika sawah-sawah sudah habis. Ketika sudah tidak ada lagi
yang ingin menjadi petani. Kamu lihat di kampung kita, ada berapa orang seusia
kita yang menjadi petani? Hanya ada dua, Sadikin dan Hambali.”
Adalah
cuplikan percakapan antara Ron dan tokoh “Aku” dalam Kawan Kecil, sebuah cerita pendek yang termaktub dalam Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali
karya Puthut EA, yang menjadi pembuka tulisan ini. Ron sebelumnya diceritakan
sempat bekerja di Jakarta, dan dalam waktu lima tahun karirnya meroket dengan
cepat. Namun kemudian keputusan mengejutkan diambilnya, pulang ke desa dan
mengurusi tanah kakeknya yang sudah meninggal dunia.
Suatu
jalan hidup ‘menyimpang’ telah dipilih Ron, saya katakan menyimpang karena
memang pola pikir yang berkembang di masyarakat saat ini mengatakan demikian.
Sering kita dengar petani yang tidak menginginkan anaknya turut pula dalam
profesi ini di kemudian hari. Yang menjadi keliru adalah menganggap profesi ini
sebagai sesuatu yang harus dihindari. Padahal bila ditilik lebih jauh, kepada
petani dan pertaniannya-lah sebenarnya kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa digantungkan, bukankah segala sesuatu yang begerak
itu membutuhkan daya?
Sebuah
Pola Pikir
Pola
pikir yang menyesatkan tersebut bisa menjadi hal yang positif, apabila
kekhawatiran petani (saat ini) terhadap masa depan penerusnya adalah bila kelak
ia hanya menjadi petani yang sekadar tahu cara bercocok tanam dan memasarkan
produknya. Tapi tidak merasakan diri haknya melulu dilanggar dan ditindas tanpa
sedikitpun melakukan perlawanan, terutama terhadap marjin keuntungan yang hanya
diperoleh lebih sedikit daripada modal yang dikeluarkan.
Berkembangnya
pola pikir tersebut sedikit banyak, bisa jadi, berpengaruh terhadap jumlah
sawah yang tersedia. Dalam beberapa berita dapat kita temukan orang tua yang
rela menjual sawahnya demi membiayai studi anaknya. Memang betul pengorbanan
tersebut seringkali mengahasilkan, namun bukan kah tidak sedikit juga yang
gagal dalam studinya? Sudah gagal studi, sawah yang seharusnya menjadi mesin
produksi utama dan dapat digarap terus-menerus raib pula.
Dalam sebuah artikel
yang bertajuk Menjauhkan Orang Muda dari
Desa yang termuat dalam situs daring Pindai.org disebutkan, salah satu
sebab petani sulit mendapatkan kemakmuran adalah: ongkos produksi yang kian
meroket bersama harga kebutuhan sehari-hari, dan Nilai Tukar Petani (NTP) yang
sulit membaik. NTP adalah rasion antara harga produk petani dan harga
barang-barang kebutuhan petani. Belum lagi ditambah fakta berikut ini: “Angka
NTP 100 berarti petani mengalami impas, lebih besar dari itu mereka untung dan
lebih kecil menandakan kerugian. Data BPS 2014 menyebutkan, NTP petani tanaman
pangan hanya mencapai 100,24 pada 2013 dan 100,07 pada 2014. Angka ini
menunjukkan betapa mereka hanya hidup dari keuntungan marjinal.”
Satu hal lagi yang
menjadi pola pikir keliru yang berkembang dalam masyarakat adalah “untuk apa
seseorang sekolah tinggi namun akhirnya jadi petani juga.” Hal inilah yang
dialami Nur Agis Aulia, agropreneur muda dari Serang, Banten, yang
mengembangkan sistem pertanian, peternakan, dan perkebunan secara terpadu. Agis
yang merupakan lulusan UGM tersebut, mula-mula mendapat banyak kecaman saat
merintis usahanya. Terutama dari kedua orang tuanya. Bisa jadi hal-hal yang
mendorong pola pikir semacam ini adalah gengsi pada strata sosial tertentu.
Menjadi pegawai negeri
dan bekerja sebagai buruh kerah putih adalah primodana bagi setiap anak muda;
gaji tetap, kerja kantoran, dana pensiun dijamin. Agis pun rela melewatkan
kesempatan yang nyaris tidak mustahil
untuk bekerja di BUMN, demi menekuni lebih dalam dunia pertanian. Pada mula-mula
Agis mengurus sendiri semuanya, namun ketika peternakannya berkembang, lalu
disusul dengan pertanian dan perkebunannya, ia akhirnya melakukan kerja sama
dengan beberapa petani lokal. Dengan terlebih dahulu mengenalkan sistem bertani
terpadu.
Dalam hal ini, dapat
dilaksanakan penelitian lebih lanjut untuk mendapat data akurat benar atau
tidaknya argumen yang saya kemukakan. Misalnya saja dengan menyebar polling
untuk mengetahui seberapa banyak anak yang bercita-cita menjadi petani. Atau
marilah lihat data yang saya himpun dari BPS tentang jumlah petani muda (umur
15-34 tahun) di Provinsi Banten empat tahun terakhir, Banten dipilih hanya
untuk mengambil sample saja: tahun 2011 tercatat sejumlah 630.122, tahun 2012
sejumah 602.589, tahun 2013 sejumlah 695.186, dan tahun 2014 sejumlah 604.998
orang.
Walaupun sempat terjadi
kenaikan angka pada 2013, namun pada 2014 terjadi penurunan yang amat drastis,
90.188 orang. Angka-angka yang saya sebutkan di atas tidak dimaksudkan untuk
memberikan kesuluruhan gambaran agraria di Indonesia. Namun agar lebih
mempermudah melihat contoh nyata dari menurunnya minat masyarakat terhadap bidang
pekerjaan bertani.
Petani
Melawan
Dalam satu tahun
terkahir, bisa kita lihat nasib buruk yang sedang menimpa petani di beberapa
wilayah. Bukan masalah membumbungnya harga pupuk dan benih, namun tentang
pemberangusan yang dilakukan korporasi ataupun pemerintah terhadap tanah
airnya. Katakanlah petani Kulon Progo yang sekuat tenaga menolak berdirinya
bandara di atas sawah-sawahnya. Lalu ada pula petani di kawasan bekas Waduk
Jati Gede yang hak-haknya masih belum dilunasi oleh negara, sampai sekarang.
Dan yang perjuangannya masih diuji terus menerus yaitu petani-petani di Rembang
melawan pendirian pabrik semen.
Perjuangan-perjuangan
yang demikian itu kiranya akan mudah hancur dan gagal apabila tidak disertai
dengan kesamaan visi dan pengorganisasian yang baik. Sebetulnya di sinilah
peran intelektual muda untuk membantu nasib petani. Memang betul sejarah pernah
mencatat beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh petani. Namun demikian
lebih banyak yang kandas di tengah jalan karena ketidak-samaan tujuan.
Salah satu yang pernah
terjadi adalah Pemberontakan Petani
Banten 1888, yang bukunya ditulis dengan sangat komplit oleh Sartono
Kartodirdjo. Petani, yang dipelopori oleh kaum haji dan para ulama, saat itu
tidak puas dengan sistem yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan
memutuskan untuk melakukan pemberontakan. Sartono menilai segala pergerakan
sosial yang terjadi di pualau Jawa saat itu, tidak menunjukan ciri-ciri modern
seperti, organisasi, ideologi-ideologi moderen, dan agitasi yang meliputi
seluruh negeri.
Satu poin penting yang
ditulis Sartono adalah sebagai berikut: “Mereka memiliki keinginan yang samar
untuk menggulingkan pemerintah, tetapi tidak sadar bahwa mereka sedang
mengambil bagian di dalam suatu
pergerakan sosial yang revolusioner. Bisa dipastikan tidak ada kesadaran akan
tujuan yang diakui oleh kaum pemberontak. Sangat mungkin para pemberontak
mereka pun tidak memiliki pemahaman politik untuk membuat renacana yang
realistis seandainya pemberontakan berhasil. Oleh karena itu,
pemberontakan-pemberontakan tersebut ditakdirkan gagal.”
Memang betul apa yang
ditulis Sartono adalah pengalaman masa silam. Namun tidak menutup kemungkinan
hal-hal seperti ini masih terjadi kepada petani-petani yang berada di daerah
terpencil, yang di sana sangat sedikit bahkan tidak ada intelektual muda yang
membantu. Tiga kasus perlawanan kaum tani yang saya sebut di atas kesemuanya
terjadi di Pulau Jawa. Lalu bagaimana dengan nasib petani yang tetindas namun
tak mampu melawan? Sedang anak-anak mudanya pergi dan hidup mewah di
perantauan?
Idealnya, saya menutup
tulisan ini dengan menukil kalimat Tan Malaka dalam Madilognya, untuk sama-sama kita—kaum muda—renungi, yang bunyinya:
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlau
tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul
dan hanya memilki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu
tidak diberikan sama sekali.” Namun saya memutuskan untuk urung melakukannya.
Pada akhirnya, saya
mengajak siapa saja yang peduli dan sadar ihwal buruknya nasib agraria di
Indonesia untuk mulai menabung, sedikit demi sedikit, agar mempunyai modal untuk
membeli sawah barang satu hektar. Ya, walaupun tidak tahu cara bertani
setidaknya kita bisa memperkerjakan buruh tani dengan memberikan upah yang
layak. Dan pada suatu siang yang terik kita habiskan waktu untuk sekadar mengobrol
dan menertawakan kondisi pemerintahan sembari menyesap sisa-sisa kopi bersama
para petani.
Bencana
atau Fenomena?
Yang mengerikan dari fenomena menjauhnya kaum-kaum
terpelajar, khususnya angkatan muda, adalah salah satu indikator—yang paling
mungkin—untuk mengkategorikan semakin suramnya masa depan dunia agraris
Indonesia. Bukan saja lahan-lahan produktif yang berkurang sedikit demi sedikit,
baik karena tak ada yang (mampu) mengurusnya ataupun sawah-sawah dan lahan
pertanian yang subur-makmur hanya tinggal dongeng belaka; terbenam dan
tersingkir gedung-gedung bertingkat dan produk kapitalis korporasi.
Apabila bencana ini terus berlanjut, sebab
terlalu halus disebut sebagai fenomena, maka bisa dipastikan
petani-petani--yang sudah termarjinalkan sejak aspek ekonomi itu--, akan
berjuang untuk memperoleh haknya sorang diri di jalan yang paling kalut dan
sunyi.
Panggungharjo,
19 Maret 2016
*Ditulis
untuk Musik (Menulis Asik) Litbang LPM Keadilan
0 komentar:
Posting Komentar