Selasa, 12 April 2016

Anomali Sawah bagi Si Lemah, Pemuda (Tetap) Hidup Mewah


Sumber: http://goo.gl/B3ZCuH
“Bagaimana dengan orang-orang lain?.... Mereka menjual tanahnya untuk menghidupi anak-anak mereka yang tinggal di kota. ..... Apa yang akan terjadi ketika krisis terulang dan terulang lagi? Ketika sawah-sawah sudah habis. Ketika sudah tidak ada lagi yang ingin menjadi petani. Kamu lihat di kampung kita, ada berapa orang seusia kita yang menjadi petani? Hanya ada dua, Sadikin dan Hambali.”
            Adalah cuplikan percakapan antara Ron dan tokoh “Aku” dalam Kawan Kecil, sebuah cerita pendek yang termaktub dalam Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali karya Puthut EA, yang menjadi pembuka tulisan ini. Ron sebelumnya diceritakan sempat bekerja di Jakarta, dan dalam waktu lima tahun karirnya meroket dengan cepat. Namun kemudian keputusan mengejutkan diambilnya, pulang ke desa dan mengurusi tanah kakeknya yang sudah meninggal dunia.
            Suatu jalan hidup ‘menyimpang’ telah dipilih Ron, saya katakan menyimpang karena memang pola pikir yang berkembang di masyarakat saat ini mengatakan demikian. Sering kita dengar petani yang tidak menginginkan anaknya turut pula dalam profesi ini di kemudian hari. Yang menjadi keliru adalah menganggap profesi ini sebagai sesuatu yang harus dihindari. Padahal bila ditilik lebih jauh, kepada petani dan pertaniannya-lah sebenarnya kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa digantungkan, bukankah segala sesuatu yang begerak itu membutuhkan daya?

Sebuah Pola Pikir
            Pola pikir yang menyesatkan tersebut bisa menjadi hal yang positif, apabila kekhawatiran petani (saat ini) terhadap masa depan penerusnya adalah bila kelak ia hanya menjadi petani yang sekadar tahu cara bercocok tanam dan memasarkan produknya. Tapi tidak merasakan diri haknya melulu dilanggar dan ditindas tanpa sedikitpun melakukan perlawanan, terutama terhadap marjin keuntungan yang hanya diperoleh lebih sedikit daripada modal yang dikeluarkan.
            Berkembangnya pola pikir tersebut sedikit banyak, bisa jadi, berpengaruh terhadap jumlah sawah yang tersedia. Dalam beberapa berita dapat kita temukan orang tua yang rela menjual sawahnya demi membiayai studi anaknya. Memang betul pengorbanan tersebut seringkali mengahasilkan, namun bukan kah tidak sedikit juga yang gagal dalam studinya? Sudah gagal studi, sawah yang seharusnya menjadi mesin produksi utama dan dapat digarap terus-menerus raib pula.

Dalam sebuah artikel yang bertajuk Menjauhkan Orang Muda dari Desa yang termuat dalam situs daring Pindai.org disebutkan, salah satu sebab petani sulit mendapatkan kemakmuran adalah: ongkos produksi yang kian meroket bersama harga kebutuhan sehari-hari, dan Nilai Tukar Petani (NTP) yang sulit membaik. NTP adalah rasion antara harga produk petani dan harga barang-barang kebutuhan petani. Belum lagi ditambah fakta berikut ini: “Angka NTP 100 berarti petani mengalami impas, lebih besar dari itu mereka untung dan lebih kecil menandakan kerugian. Data BPS 2014 menyebutkan, NTP petani tanaman pangan hanya mencapai 100,24 pada 2013 dan 100,07 pada 2014. Angka ini menunjukkan betapa mereka hanya hidup dari keuntungan marjinal.”
Satu hal lagi yang menjadi pola pikir keliru yang berkembang dalam masyarakat adalah “untuk apa seseorang sekolah tinggi namun akhirnya jadi petani juga.” Hal inilah yang dialami Nur Agis Aulia, agropreneur muda dari Serang, Banten, yang mengembangkan sistem pertanian, peternakan, dan perkebunan secara terpadu. Agis yang merupakan lulusan UGM tersebut, mula-mula mendapat banyak kecaman saat merintis usahanya. Terutama dari kedua orang tuanya. Bisa jadi hal-hal yang mendorong pola pikir semacam ini adalah gengsi pada strata sosial tertentu.
Menjadi pegawai negeri dan bekerja sebagai buruh kerah putih adalah primodana bagi setiap anak muda; gaji tetap, kerja kantoran, dana pensiun dijamin. Agis pun rela melewatkan kesempatan yang nyaris  tidak mustahil untuk bekerja di BUMN, demi menekuni lebih dalam dunia pertanian. Pada mula-mula Agis mengurus sendiri semuanya, namun ketika peternakannya berkembang, lalu disusul dengan pertanian dan perkebunannya, ia akhirnya melakukan kerja sama dengan beberapa petani lokal. Dengan terlebih dahulu mengenalkan sistem bertani terpadu.
Dalam hal ini, dapat dilaksanakan penelitian lebih lanjut untuk mendapat data akurat benar atau tidaknya argumen yang saya kemukakan. Misalnya saja dengan menyebar polling untuk mengetahui seberapa banyak anak yang bercita-cita menjadi petani. Atau marilah lihat data yang saya himpun dari BPS tentang jumlah petani muda (umur 15-34 tahun) di Provinsi Banten empat tahun terakhir, Banten dipilih hanya untuk mengambil sample saja: tahun 2011 tercatat sejumlah 630.122, tahun 2012 sejumah 602.589, tahun 2013 sejumlah 695.186, dan tahun 2014 sejumlah 604.998 orang.
Walaupun sempat terjadi kenaikan angka pada 2013, namun pada 2014 terjadi penurunan yang amat drastis, 90.188 orang. Angka-angka yang saya sebutkan di atas tidak dimaksudkan untuk memberikan kesuluruhan gambaran agraria di Indonesia. Namun agar lebih mempermudah melihat contoh nyata dari menurunnya minat masyarakat terhadap bidang pekerjaan bertani.

Petani Melawan
Dalam satu tahun terkahir, bisa kita lihat nasib buruk yang sedang menimpa petani di beberapa wilayah. Bukan masalah membumbungnya harga pupuk dan benih, namun tentang pemberangusan yang dilakukan korporasi ataupun pemerintah terhadap tanah airnya. Katakanlah petani Kulon Progo yang sekuat tenaga menolak berdirinya bandara di atas sawah-sawahnya. Lalu ada pula petani di kawasan bekas Waduk Jati Gede yang hak-haknya masih belum dilunasi oleh negara, sampai sekarang. Dan yang perjuangannya masih diuji terus menerus yaitu petani-petani di Rembang melawan pendirian pabrik semen.
Perjuangan-perjuangan yang demikian itu kiranya akan mudah hancur dan gagal apabila tidak disertai dengan kesamaan visi dan pengorganisasian yang baik. Sebetulnya di sinilah peran intelektual muda untuk membantu nasib petani. Memang betul sejarah pernah mencatat beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh petani. Namun demikian lebih banyak yang kandas di tengah jalan karena ketidak-samaan tujuan.
Salah satu yang pernah terjadi adalah Pemberontakan Petani Banten 1888, yang bukunya ditulis dengan sangat komplit oleh Sartono Kartodirdjo. Petani, yang dipelopori oleh kaum haji dan para ulama, saat itu tidak puas dengan sistem yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan memutuskan untuk melakukan pemberontakan. Sartono menilai segala pergerakan sosial yang terjadi di pualau Jawa saat itu, tidak menunjukan ciri-ciri modern seperti, organisasi, ideologi-ideologi moderen, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri.
Satu poin penting yang ditulis Sartono adalah sebagai berikut: “Mereka memiliki keinginan yang samar untuk menggulingkan pemerintah, tetapi tidak sadar bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam  suatu pergerakan sosial yang revolusioner. Bisa dipastikan tidak ada kesadaran akan tujuan yang diakui oleh kaum pemberontak. Sangat mungkin para pemberontak mereka pun tidak memiliki pemahaman politik untuk membuat renacana yang realistis seandainya pemberontakan berhasil. Oleh karena itu, pemberontakan-pemberontakan tersebut ditakdirkan gagal.”
Memang betul apa yang ditulis Sartono adalah pengalaman masa silam. Namun tidak menutup kemungkinan hal-hal seperti ini masih terjadi kepada petani-petani yang berada di daerah terpencil, yang di sana sangat sedikit bahkan tidak ada intelektual muda yang membantu. Tiga kasus perlawanan kaum tani yang saya sebut di atas kesemuanya terjadi di Pulau Jawa. Lalu bagaimana dengan nasib petani yang tetindas namun tak mampu melawan? Sedang anak-anak mudanya pergi dan hidup mewah di perantauan?
Idealnya, saya menutup tulisan ini dengan menukil kalimat Tan Malaka dalam Madilognya, untuk sama-sama kita—kaum muda—renungi, yang bunyinya: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlau tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memilki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Namun saya memutuskan untuk urung melakukannya.
Pada akhirnya, saya mengajak siapa saja yang peduli dan sadar ihwal buruknya nasib agraria di Indonesia untuk mulai menabung, sedikit demi sedikit, agar mempunyai modal untuk membeli sawah barang satu hektar. Ya, walaupun tidak tahu cara bertani setidaknya kita bisa memperkerjakan buruh tani dengan memberikan upah yang layak. Dan pada suatu siang yang terik kita habiskan waktu untuk sekadar mengobrol dan menertawakan kondisi pemerintahan sembari menyesap sisa-sisa kopi bersama para petani.

Bencana atau Fenomena?
Yang mengerikan dari fenomena menjauhnya kaum-kaum terpelajar, khususnya angkatan muda, adalah salah satu indikator—yang paling mungkin—untuk mengkategorikan semakin suramnya masa depan dunia agraris Indonesia. Bukan saja lahan-lahan produktif yang berkurang sedikit demi sedikit, baik karena tak ada yang (mampu) mengurusnya ataupun sawah-sawah dan lahan pertanian yang subur-makmur hanya tinggal dongeng belaka; terbenam dan tersingkir gedung-gedung bertingkat dan produk kapitalis korporasi.
Apabila bencana ini terus berlanjut, sebab terlalu halus disebut sebagai fenomena, maka bisa dipastikan petani-petani--yang sudah termarjinalkan sejak aspek ekonomi itu--, akan berjuang untuk memperoleh haknya sorang diri di jalan yang paling kalut dan sunyi.


Panggungharjo, 19 Maret 2016
*Ditulis untuk Musik (Menulis Asik) Litbang LPM Keadilan

0 komentar:

Posting Komentar