Senin, 21 Desember 2015

21, Dua Belas

Jika memang sedari awal niat menulis di blog adalah belajar, mengapa tak konsisten? Tulisan-tulisan yang seharusnya diunggah, mangkrak entah sejak kapan. Jangan tanya berapa banyak sarang laba-laba menghinggapi, sudah pasti banyak. Bahkan berpindah alamat pun tidak disadari—saking lamanya tak dikunjungi. Domain yang pada mulanya blogspot.com, sekarang berganti blogspot.co.id

    Tahun lalu, beberapa muntahan kecil memang berhasil tayang. Tapi seberapa banyak kandungan karbohidratnya saya tak tahu. Sudah muntahan, tak bermanfaat pulak. Isinya, ya, tentang kisah pertemanan yang berliku-liku hingga hujan yang mengganggu dan menjadikan jemuran tak kunjung kering. Ya, begitulah namanya belajar. Kalau enggak jelek, ya... akui saja kalau jelek!

    Setelah membaca ulang tulisan-tulisan terbaru ternyata tidak begitu mengecewakan. Sudah mulai tidak menye dan nyampah. Saya sendiri bertanya, pertanda apakah itu? Apakah itu tanda bahwa perspektif yang semakin luas atau memang terlihat bagus karena bersanding dengan tulisan-tulisan lainnya yang medioker itu. Dan jarak di antara perbedaan itu sangat tipis, semacam gol yang harus dianulir karena bola tidak sepenuhnya melewati garis.

    Nah, sekarang membahas tulisan bagus. Bagaimana bisa sebuah tulisan itu dikatakan bagus dan apa parameternya. Dalam beberapa perlombaan, setiap juri menggunakan parameter tertentu untuk menghindari subjektifitas dalam penilaiannya. Seolah-olah dengan begitu mereka bisa berkata: Inilah prestasi yang sebenarnya, dia sudah mencapai apa yang kami inginkan. Padahal bukan begitu, mereka sendiri hanya mengumpulkan beberapa subjektifitas untuk dijadikan tameng menahan protes dan atau klaim.

    Baiklah, saya sendiri mempunyai penilaian sendiri tentang mana tulisan yang bagus dan mana yang sangat bagus. Dibawahnya ada kategori jelek, tidak ada jelek banget. Orang yang mengatakan sebuah tulisan jelek banget adalah orang yang tidak pernah tahu bagaimana susahnya menyusun sebuah perkumpulan kata sembari mengolah imajinasi dan membangunnya menjadi sebuah istana dengan pondasi yang kuat, begitu Tuan dan Nona.

    Saya harus menganalogikan tulisan bagus dengan lagu/musik bagus. Karena dalam banyak hal, selera memang tidak akan sama, tapi pasti ada garis-garis yang berhasil bertemu. Anda bisa jadi penggemar sebuah musik pop, bisa jadi saya lebih suka dangdut dan membeci pop, atau bisa sebaliknya. Jadi intinya, tidak penting jenis tulisan atau musiknya, yang penting adalah sesuatu itu bagus atau tidak.

    Untuk membatasinya saya akan mengajukan dua pertanyaan, tentu tentang tulisan dan musik. Pertama, mana yang lebih anda sukai, tulisan yang membuat pembacanya mengangguk-angguk paham atau yang inti idenya brilian tapi cara bertuturnya membuat Anda seolah sedang mengukur jarak bumi ke bulan? Kedua, musik mana yang akan Anda dengarkan, musik yang anda tidak paham liriknya sama sekali tapi membuat anda merasakan emosi bahagia, atau musik yang liriknya dalam dan sarat akan makna tapi diiringi dengan musik yang berantakan—misal suara drum yang seperti dipukul orang ronda mengejar maling?

    Silakan dijawab. Jika sudah menentukan pilihan, waktunya saya memilih dan mempertanggungjawabkan apa yang dipilih. Saya dengan mudah akan memilih opsi pertama untuk kedua pertanyaaan tersebut. Pernah kah baca buku akademik, dengan waktu penggarapan dan penilitian yang katanya puluhan tahun, tapi ditulis dengan bahasa yang luar biasa membosankan dan datar? Belum lagi sampai pada inti ide, mata sudah gatal tapi sakit kalau digaruk. Lalu berapa banyak lagu yang di-jatuhi-hati tapi sampai beberapa waktu tidak paham liriknya seperti apa, entah itu karena faktor perbedaan bahasa ataupun pengucapan. Pasti banyak, saya kira.

    Banyak teman ketika ditanya mengapa lagu yang disukai justru tidak hapal benar liriknya. Dangan enteng menjawab: ya, nyaman saja, ya, suka gitu lho. Bahkan ketika menyanyi dengan lirik yang salah, khususnya untuk lagu-lagu yang non-Indonesia, rasa-rasanya seperti menyelasikan TTS tapi ternyata terbalik antara mendatar dan menurun. Bandingkan dengan rasa ingin tahu terhadap hal-hal mendetail tentang pujaan hatinya, siapa mantan pertamanya, kapan ulang tahun pernikahan orangtuanya, dan, ya, hal-hal yang seperti itulah.

    Oh, Anda lebih suka musik yang liriknya dalam dan membuat terenyuh? Tentu saja boleh, tapi kalau saya, sih, gak mau denger lagu Pure Saturday – Kosong dimainkan dengan nada tinggi (dan sumbang) yang dipaksakan. Jangankan menikmati musiknya, untuk memahami liriknya saja sudah malas, sudah terlanjur bete. Nah bagaimana dengan musik metal hardcore yang bahkan liriknya tidak bisa ditranskrip itu? Barangkali sama dengan membaca Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad yang termasyhur itu.

Kita seolah-olah mengangguk paham dan setuju, tapi tidak pernah tahu siapa yang sedang ditulisnya dan apa maksud tulisannya. Ya, begitulah.

Panggungharjo, 21 Desember 2015

   

0 komentar:

Posting Komentar