![]() |
(Ilustrasi) Yang tumbuh disela-sela jemari Dieng. |
Pada suatu sore, saya menonoton video pendek komedian
yang juga kerap menulis buku, di salah satu TV swasta. Dia bercerita tentang
bagaimana tidak mungkinnya sebuah rahasia terjaga. Apalagi rahasia tersebut
diceritakan kepada orang yang di awal percakapannya di buka begini: Tapi ini
rahasia, jangan bilang siapa-siapa. Dalam video itu diceritakan bagaimana
sebuah rahasia diceritakan terus menerus memasuki setiap kepala seseorang.
Hingga rahasia itu bukan lagi menjadi hal yang disimpan, tapi diumbar.
Sampai saat ini saya sendiri bingung dengan rahasia. Apa memang semua rahasia harus
disimpan, dipendam, dan dikubur dalam-dalam? Atau orang-orang tertentu boleh
mengetahuinya?
Sesekali
saya bercerita tentang hal yang dipendam, baik itu kepada keluarga ataupun
teman. Untuk masalah-masalah tertentu yang kiranya bisa diselesaikan sendiri,
tidak pernah saya ceritakan kepada siapa pun. Jika memang berat, pasti saya
ceritakan. Tapi itu hal yang jarang sekali saya lakukan. Apa memang saya bukan
tipikal orang yang mudah berbagi rahasia? Atau barangkali saya tidak punya
banyak hal yang harus dirahasiakan? Entahlah.
*
Mulanya, saya kira ia
bertengger dalam daftar isi Kitab Suci, atau barangkali dalam deretan bulu Si
Bebek? Nyatanya tidak pada keduanya. Yang saya temukan justru yang hampir mirip
dengannya, bertajuk Ibu Tahu Rahasiaku, tapi isinya sama sekali berbeda. Dimana
kiranya dia berada? Saya mencoba mengingat isi dari ceritanya, saya coba
tuliskan di dalam mesin pencari. Saya tulis: setiap kali bunga itu layu ibu
mengkhawatirkan keadaanku, Puthut EA. Kemudian muncul hasil: Bunga dari Ibu,
Puthut EA, Kumpulan Cerpen Kompas 2004.
Sekarang saya ingat dimana harus membacanya: aplikasi Moon Reader pada gawai. Kumcer itu
berisikan 50 cerpen. Yang menulis beragam, mulai dari penulis kenamaan sampai
yang namanya tidak familiar. Setidaknya ada 2 cerpen lain yang menarik
perhatian--selain satu tulisan Kepala Suku Mojok-- yakni Air Raya, dan Kembar
Buncing. Air Raya ditulis oleh Azhari, saya membacanya pertama kali di buku
Perempuan Pala. Isinya menarik, diksi-diksinya segar. Anehnya, Air Raya—secara
kebetulan--ditulis satu tahun sebelum Tsunami Aceh yang maha dahsyat itu datang,
benarkah itu sebuah nubuat?
Judul yang kedua mempunyai persamaan ide dengan novel Incest, Kisah Kelam Kembar Buncing. Saya
meresensinya di laman: http://www.lpmkeadilan.com/kembar-buncing-bali-selepas-senja.html. Ditulis dengan “tidak nyaman” oleh I Wayan Artika, sedang yang satunya
ditulis Wayan Sunarta entah ber-reaksi apa. Terdapat beberapa perbedaan sanksi
adat diantara dua tulisan tersebut. Barangkali jika ada waktu luang saya akan
menuliskan perbedaan keduanya. Barangkali..
Ada beberapa jenis tulisan yang bisa membuat saya
bahagia; ada yang berhasil mengernyitkan dahi; dan ada pula yang menguras
energi. Nah, dalam Bunga dari Ibu, ketiga-tiganya saya rasakan bersamaan-bercampur. Saya
merasa seperti sedang menontonnya. Bahkan seperti merasakannya sendiri, hanya
berjarak tipis: antara mata dan kata yang berderet dalam kertas.
Bunga dari Ibu bermula dari kisah “Aku” yang selalu
mengkhawatirkan kabar Ibunya. Bapak dan Ibunya sudah bercerai, dia menyewa
rumah sorang diri. Karena terpisah oleh jarak, ibunya lalu berpesan: “Kamu tidak mungkin sering-sering
mengunjungiku, kalau mau lihat keadaanku, lihat saja bunga ini.” Pada hari
seterusnya tokoh “Aku” selalu mengecek bunganya sebelum berangkat bekerja.
Dalam perjalanannya, bunga itu memang
bisa mengatakan keadaan Ibu.
“Ketika suatu pagi
kulihat beberapa daunnya yang masih hijau rontok, aku mendapati kabar bahwa Ibu
sedang bersedih karena seorang pencuri telah memasuki rumahnya dan mebawa lari
televisi kesayangannya.”
Lalu ada lagi, ketika
tokoh Aku lupa mengecek pohonnya, tiba-tiba saja Si Ibu menelpon: “Kamu tidak memeriksa bunga dari ibu, ya?”
Dengan agak rikuh aku menjawab hari ini aku lupa. Lalu Ibu bilang. “Pulanglah,
Ibu sedang bersiap untuk naik haji tahun ini.” Tentu saja aku sangat gembira.
Saat itu juga dia ingin melihat bagaimana keadaan bunganya. Pohon bunga yang ditanam Ibu seperti
dikerudungi cahaya. Selepas beberapa kejadian yang menimpa Ibu dan
bunganya, dia pun menanam bunga di samping kamar Ibu. Tujuannnya sama, agar
pohon itu mengatakan bagaimana keadaannya.
Tak dinyana, bunga memang bisa mengabarkan kepada Ibu.
Saat dia sedang dipromosikan naik jabatan, pagi-pagi betul Ibu menelpon. Tokoh “Aku”
hanya berpura-pura tidak tahu, lalu Ibu menerangkan: Pohon bunganya terlihat
segar dan banyak bunga yang sedang mekar. Kemudian diikuti beberapa kejadian antara
bunga dan kenyataan yang saling berhubungan, baik atapun buruk.
Muncul lagi masalah baru, Rustam –pacar si tokoh—menelpon
dari luar kota dengan kabar buruk, ia harus menikahi anak bosnya karena hamil.
Sedang sebelumnya dikisahkan, Rustam juga menanam benihnya di perut si “Aku.”
Akhirnya digugurkanlah bayi hasil hubungan gelapnya itu. Pagi-pagi sekali ibu
datang ke rumahnya, kemudian berujar: “Ibu
khawatir sekali, pohon bungamu tadi terlihat seperti mau mati.” Tapi sudah
terlambat, setibanya di rumah, sang anak sudah dalam keadaan sehat wal afiat.
“Aku” pun memutuskan untuk merahasiakan pengguguran bayi
dari Ibunya sendiri. Padahal dalam salah satu paragraf dijelaskan:
Di antara kami, aku dan
ibuku, jarang sekali saling menyimpan rahasia. Terutama aku. Ibu hampir tahu
semua kisahku, baik dalam hal percintaan maupun urusan kantor. Aku tidak butuh
bantuan untuk semua hal yang kulalui, hanya saja bercerita pada ibu adalah
sesuatu yang sudah kuanggap menyelesaikan banyak hal.
Dia memutuskan untuk
tetap menyimpannya sendiri, walaupun dia tidak begitu yakin kalau Ibu akan
memarahinya.
Bukan
Puthut EA namanya jika dia tidak menutup akhir cerita dengan hal yang
mencengangkan, setidaknya membuat dahi sedikit mengernyit. Bagi penyuka
akhir-yang-bahagia mungkin membayangakan akhirnya si tokoh mengatakan kepada
Ibunya tentang hal yang sebenernya terjadi, kemudian sebagai Ibu, ia memberikan
wejangan-wejangan yang membangkitkan semangat anaknya. Sayangnya, Puthut tidak memilih jalan itu. Ia memilih sendiri jalan
ceritanya.
Lalu tibalah saatnya “Aku” mengkawatirkan keadaan ibunya.
Bunga yang ditanam di samping kamarnya itu tiba-tiba saja seperti akan mati.
Rantingnya mengering dan daun-daun serta bunganya rontok. Dalam beberapa kali
telpon, Ibu sama sekali tidak mengangkatnya. Ini mebuatnya bertambah cemas.
Setelah beberapa saat, suara diseberang menyahut, mengatakan kabarnya baik-baik
saja. Kemudian dia berpikir, tidak mungkin tidak terjadi apa-apa, bunga yang ditanam ibu seperti sekarat. Dipesanlah
pesawat paling pagi, ke rumah Ibu.
Berbagai cara dilakukannya agar Ibu mau menceritakan yang
sebenarnya. Tapi Ibu keukeuh
mengatakan tidak sedang tertimpa masalah apapun. “Aku” tetap ngotot, karena
memang bunga yang ditanam mengatak sebaliknya. Dengan tenangnya Ibu membantah: “Bunga itu ternyata tidak bisa dibuat
patokan keadaanku.” Tidak puas dengan jawabannya, Ia pun menelusuri seluruh
sela-sela rumah, tapi yang dilihatnya tampak baik-baik saja, tidak ada yang mencurigakan.
Ada satu hal yang
membuatnya kaget, bunga yang ditanamnya sudah tidak ada lagi. Ibu lantas
menjawabnya dengan santai; Kamu ingat,
kan... Ketika ibu datang datang pagi-pagi karena melihat bunga yang kamu tanam
terlihat seperti mau mati? Ternyata kamu tidak sedang ada masalah apa-apa.
Pulang dari rumahmu aku mencabut bunga itu.
Tapi itu belum sampai
akhir cerita, Puthut mungkin menginginkan pemabacanya tidak berhenti pada satu
titik, tapi pada satu tanda tanya.
“Aku kembali diam. Esok
harinya, aku langsung pulang. Sampai di rumahku, tanpa berpikir panjang, aku
mencabut bunga yang ditanam ibu. Dalam hati aku berkata, setiap orang boleh punya rahasia.”
*
Saya tidak bermaksud
menukil keseluruhan cerita, masih banyak hal-hal menarik yang belum saya
ceritakan. Misal tentang bagaimana tokoh “Aku” menjalani keyakinannya, dan
bagaimana dia dimarahi Ibu karena tidak memberi uang kepada pengemis. Juga
berbagai macam kegalauan, yang –bisa jadi—adalah kegelisahan Puthut sendiri
dalam menjalani hidup, bukan tokohnya. Sila klik tautan berikut untuk mebaca
cerita lengkap Bunga dari Ibu: https://cerpenkompas.wordpress.com/2004/08/29/bunga-dari-ibu/
Melihat sesuatu hal yang bagus, atau mungkin bermanfaat,
dan hanya mendiamkannya saja adalah sebuah dosa intelktual. Saya pun menyarankan
beberapa teman untuk turut membacanya. Ekspresinya beragam. Ada yang mengatakan
biasa saja, namun lebih banyak yang merespon dengan mimik wajah seolah
mengatakan: bagaimana bisa ini terjadi? Mengagumkan! Dan lain sebagainya.
Saya juga menanyakan kepada beberapa teman, sedikit
berspekulasi dan prediksi, apa yang sebenarnya terjadi dengan Ibunya? Benarkah
dia tidak sedang tertimpa masalah apapun? Atau barangkali Bunga itu memang tidak bisa mengabarkan yang
sebenarnya? Puthut memang kerap membuat cerita yang seolah “tidak mungkin” “abnormal”
“tidak nyata,” namun sialnya dia selalu berhasil mengolah kata dan fakta
sehingga akal sehat akan mengatakan hal ini bisa saja terjadi.
Beberap teman berpendapat, antara Ibu dan “Aku” memang
meyimpan rahasia dan enggan untuk berbagi. Ada pula yang mengatakan, ke
semuanya itu hanya kebetulan belaka. Maka dari itu tidak ada yang perlu di
anehkan. Lalu apakah pendapatku sama dengan mereka? Ya dan tidak. Setelah membacanya
berulang-ulang, ternyata ada kesamaan antara keduanya. Puthut menggambarkan kegagalan
bunga itu untuk ‘memprediksi’ ada di kasus yang ke empat, artinya di tiga kasus
pertama ke semua prediksinya benar. Barangakali ini ada kaitannya dengan
pendapat seorang bijak: kebetulan yang
terjadi lebih dari tiga kali mungkin adalah kenyataan.
Bisa jadi juga Ibu berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Hal ini bisa diperkuat dari argumen “Aku” di akhir cerpen yang mengatakan “Setiap orang boleh punya rahasia.”
Walaupun yang ditemukannya rumah dalam keadaan baik-baik sahaja, tapi bisa jadi
ketika dia datang pagi itu, masalah yang menimpa Ibunya sudah berlalu. Ihwal
ini bisa dilihat kecocokannya saat “Aku” mencoba menghubungi Ibu namun tak
kunjung mendapat jawaban.
Lalu mana yang benar?
Sebagaimana seharusnya karya sastra, pembacanya sendirilah yang akan
menginterpretasikannya.
*
Ah, ternyata sudah
memasuki lembar ke-empat di Ms. Word.
Sial, tak terasa. Tak apa, mari kita lanjutkan:
Barangkali agar tulisan ini menjadi obyektif akan saya
kutipkan apa yang dimaksud rahasia oleh panutan kita, ya habibina KBBI: (n) sesuatu
yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain; (n) sesuatu yang
belum dapat atau sukar diketahui dan dipahami orang; (n) sesuatu yang
dipercayakan kepada seseorang agar tidak diceritakan kepada orang lain yang
tidak berwenang mengetahuinya; (n) sesuatu yang tersembunyi.
Nah,
dari beberapa definisi ini mungkin bisa ditarik kesimpulan, rahasia sifatnya
fleksibel. Tidak melulu disimpan dan ditimbun. Rahasia (yang seharusnya) tidak
diwartakan mungkin juga akan terbongkar, jika berada pada orang yang salah.
Hampir setiap orang –barangkali—sama seperti tokoh “Aku,” nyaman berbagi
rahasia dengan Ibunya. Sayapun sama, mulai dari percintaan sampai ke hal-hal
yang remeh-temeh. Namun, prinsip “setiap orang boleh punya rahasia” kiranya
adalah hal yang mutlak.
Pada akhirnya, saya
meyakini, setiap orang mempunyai ‘tempatnya’ sendiri untuk menyimpan rahasia.
Ada yang menyimpan di luar lingkungannya. Ada pula yang mempercayai orang yang
masih dalam satu lingkaran. Barangkali ada jenis orang yang sama sekali tidak
mempercayai siapapun untuk menjaga rahasianya. Mungkin juga ada yang menganggap
semua hal harus diceritakan, tak ada yang perlu dirahasiakan. Tapi untuk dua
jenis terakhir, saya belum pernah menemukan.
Ada satu orang yang
saya percaya sebagai penyimpan rahasia terbaik, dalam artian tidak akan ada
orang lain yang mengetahuinya, tidak lain adalah: diri saya sendiri.
Ssssttt.. Tapi jangan
bilang siapa-siapa, ini rahasia.
Panggungharjo,
27 Oktober 2015
*Ditulis saat,
secara kebetulan, bertepatan dengan Hari Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar