Senin, 16 Juni 2014

Sebuah Cerita dari Penjaga Keamanan

Oleh: Paisal Salman Alparidji

 Wajahnya memang garang, tapi dalam hatinya yang paling dalam ia penakut. Masa lalunya yang kelam bukan menjadi penghalang untuk menjadi lebih baik dan berguna untuk orang lain. Sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup menjadi modal utamanya.
            
           Bagi yang belum mengenalnya mungkin akan beranggapan dia ini garang, tidak ramah, susah diajak ngobrol dan galak. Namun ketika duduk bersama dengan pria bernama lengkap Muhammad Arief A ini, semua stigma itu terbantahkan. Pria berperawakan ala militer ini senang bercerita, dan ramah kepada orang lain. Pada awal perbincangan, ia mengatakan tidak cukup kalau cuma sejam dua jam ngobrol dengannya. “Kalau ngobrol sejam dua jam mah gak bakal cukup mas, nanti dateng aja ke rumah kita ngobrol” Ujarnya sambil tertawa kecil.
            Banyak hal yang menarik tentang sosok Arief ini, pria yang kini bekerja sebagai satpam di kampus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) ini dulunya pernah menjadi penjual obat-obatan, bahkan sempat juga jadi ustadz. Sebelum mendaftar menjadi satpam ia pernah sempat mendaftar menjadi polisi, namun gagal. “Kagol” mungkin istilah itu yang tepat untuk menggambarkan keadaanya saat itu, sudah lolos tes pertama namun ia masih diminta uang ‘pelicin’ untuk lolos tes kedua. “Lah pas udah mau masuk malah dimintain uang sekian juta, yaudah daripada nyogok mending saya gak jadi” terangnya. Lalu ia memilih untuk mencari kerja yang halal, salah satunya mendaftar jadi satpam di UII.
          Saat mendaftar menjadi satpam saja ia hanya “bejan-bejanan” atau dalam bahasa Indonesia artinya untung-untungan. Ketika menyerahkan lamaran pekerjaanpun ia hanya modal nekat, karena sadar tidak memiliki keahlian apa-apa. Tapi justru dengan modal bejo dan nekat itulah ia berhasil diterima kerja, ia selalu mempercayai bahwa setiap usaha pasti ada hasilnya. Gaji pertamanya tidak begitu besar, hanya Rp. 150.000 per bulan itupun ia kumpulkan untuk modal nikah. Setelah 2 tahun bekerja sebagai satpam, uang yang berhasil dikumpulkan sebanyak 2 juta digunakan untuk modal nikahnya. Ayahnya selalu mengajarkan untuk kerja keras, jadi apapun yang diinginkan harus dengan usahanya sendiri.
            Setelah menikah dengan istrinya yang berasal dari Sleman, ia dikaruniai 2 orang anak. Semakin bertambahnya anggota keluarga tentu saja bertambah pula kebtuhan financialnya. Pada saat yang bersamaan itu pula ia dipindah tugas ke daerah Cik Di Tiro, kampus S2 Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Karena beberapa alasan ia dipindahkan kembali, kali ini beruntung, ia di pindahkan ke Kampus Fakultas Hukum UII yang berada di Jl. Taman Siswa. Ibarat mendapat durian runtuh, tidak hanya dekat dari tempat tinggalnya, gajinyapun ikut naik, yang dulunya hanya Rp. 150.000 kini ia mendapat Rp. 1.100.000 per bulan.
            Selama bertugas di FH UII, banyak pengalaman pahit dan manis yang ia rasakan. Pengalaman pahit yang dirasakannya bukan tentang uang, tapi masalah pembagian tugas, menurutnya kadang apa yang bukan menjadi tugasnya malah dia yang disalahkan. Jam kerja juga kadang menjadi beban untuknya, “Wajarnya seorang bekerja dalam sehari itukan 8 jam, tapi kita 12 jam. Ya gak apalah, kita juga ikhlas dan siap dengan konsekuensinya” ujarnya. Ketika ditanya apakah ia pernah mengadukan ini kepada pihak kampus atau belum, ia menjawab belum “Kalau saya berontak, istri sama anak saya makan apa. Semua kan udah ada yang ngatur, jadi kita ya bersyukur aja” Lanjutnya.
            Saat kami sedang asyik mengobrol, tiba-tiba datang seorang mahasiswi mengantarkan surat peminjaman ruangan. “Pak mau minjem ruangan” Ujar seorang mahasiswi seraya menyodorkan kartu tanda mahasiswa (KTM). Lalu Pak Arief izin meninggalkan kami untuk membantu mencarikan ruangan. Setelah selesai dengan urusannya, ia kembali bercerita. Sambil membakar rokoknya ia menceritakan tentang masa kecilnya.
            Sejak kecil Arief sudah dididik ala militer oleh orangtuanya, selalu diajarkan untuk tidak mengeluh dan gampang berpangku tangan. Tujuannya antara lain untuk mengajarkan ia kedisiplinan dan membentuk mental sekeras baja. Pekerjaannya yang sekarangpun tetap disyukuri, walaupun kadang sebagai satpam sering dianggap remeh oleh orang lain. Setiap harinya dilalui dengan rasa syukur, dan penuh harap. Gaji yang ia dapat selama ini sudah termasuk cukup, hidup sederhana dengan keluarga kecilnya sudah membuatnya bahagia.
            Pengalaman buruknya di masa lalu menjadi pelajaran berharga baginya. “Dulu saya sempat jualin obat-obatan ke temen SMP mbak, tapi ya cuma obat-obatan biasa, belum sampe narkoba” Ujarnya. Masa-masa kelam itu dianggap sebagai kenakalan remaja belaka olehnya. Saat beranjak dewasa kenakalannya masih belum hilang juga, menjadi preman dan memintai uang kepada masyarakat sekitar. Kenakalannya mulai luntur saat menginjak umur kepala dua, mulai mengajar ngaji dan memberikan ceramah ke beberapa rumah. Ini tidak terlepas dari lingkungan tempat tinggalnya yang berada di daerah pondok. Bahkan pernah pada suatu keadaan, ada 5 orang yang nyantri di rumahnya, walaupun itu tidak bertahan lama.
            Salah satu prinsip hidupnya juga ia tidak begitu mengejar dunia, ia akan mepersiapkan kehidupan di akhirat dengan sebaik-baiknya. “Kita kan hidup cuman sementara, jadi ya buat apa ngejar materi terus, yang sudah pasti itu kan mati. Jadi itulah yang harus benar-benar kita persiapkan” Ujarnya. Tidak ada yang salah dengan perkataannya, mungkin ini adalah salah satu cara memperbaiki masa lalunya yang kelam. “Gini aja deh mas, yang udah pasti itu kan neraka sama surga, semua orang pasti mau surga. Coba mas duduk di depan kamar jam 12 siang, sambil liat ke matahari dan ngerenungin dosa-dosa. Pasti panaskan? Itu baru di dunia loh ya, gemana panasnya neraka?” lanjutnya seraya menirukan orang tuanya saat menasihatinya dulu.
            Jika sedang tidak sibuk dengan pekerjaannya di kampus, ia biasanya hanya mengobrol dengan anak-anaknya di rumah, atau pergi memancing. Memancing adalah agenda wajib pria kelahiran bantul, 34 tahun yang lalu ini. Menurutnya memancing lebih banyak manfaatnya daripada kongkow-kongkow tidak jelas bersama teman-teman sebayanya. Menurutnya memancing  itu bisa  melatih kesabaran, sama seperti dalam kehidupan. Jika kita sabar, pasti ‘umpan’ yang dilemparkan akan disantap ikan besar. Kalau gagal, coba lagi!

1 komentar: