Oleh:
Paisal Salman Alparidji
Wajahnya
memang garang, tapi dalam hatinya yang paling dalam ia penakut. Masa lalunya
yang kelam bukan menjadi penghalang untuk menjadi lebih baik dan berguna untuk
orang lain. Sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup menjadi modal utamanya.
Bagi yang belum mengenalnya mungkin
akan beranggapan dia ini garang, tidak ramah, susah diajak ngobrol dan galak.
Namun ketika duduk bersama dengan pria bernama lengkap Muhammad Arief A ini,
semua stigma itu terbantahkan. Pria berperawakan ala militer ini senang
bercerita, dan ramah kepada orang lain. Pada awal perbincangan, ia mengatakan
tidak cukup kalau cuma sejam dua jam ngobrol dengannya. “Kalau ngobrol sejam
dua jam mah gak bakal cukup mas, nanti
dateng aja ke rumah kita ngobrol” Ujarnya sambil tertawa kecil.
Banyak hal yang menarik tentang
sosok Arief ini, pria yang kini bekerja sebagai satpam di kampus Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (FH UII) ini dulunya pernah menjadi penjual obat-obatan,
bahkan sempat juga jadi ustadz. Sebelum mendaftar menjadi satpam ia pernah
sempat mendaftar menjadi polisi, namun gagal. “Kagol” mungkin istilah itu yang
tepat untuk menggambarkan keadaanya saat itu, sudah lolos tes pertama namun ia masih
diminta uang ‘pelicin’ untuk lolos tes kedua. “Lah pas udah mau masuk malah dimintain uang sekian juta, yaudah
daripada nyogok mending saya gak jadi” terangnya. Lalu ia memilih untuk mencari
kerja yang halal, salah satunya mendaftar jadi satpam di UII.
Saat mendaftar menjadi satpam saja
ia hanya “bejan-bejanan” atau dalam
bahasa Indonesia artinya untung-untungan. Ketika menyerahkan lamaran pekerjaanpun
ia hanya modal nekat, karena sadar tidak memiliki keahlian apa-apa. Tapi justru
dengan modal bejo dan nekat itulah ia
berhasil diterima kerja, ia selalu mempercayai bahwa setiap usaha pasti ada
hasilnya. Gaji pertamanya tidak begitu besar, hanya Rp. 150.000 per bulan
itupun ia kumpulkan untuk modal nikah. Setelah 2 tahun bekerja sebagai satpam,
uang yang berhasil dikumpulkan sebanyak 2 juta digunakan untuk modal nikahnya.
Ayahnya selalu mengajarkan untuk kerja keras, jadi apapun yang diinginkan harus
dengan usahanya sendiri.
Setelah menikah dengan istrinya yang
berasal dari Sleman, ia dikaruniai 2 orang anak. Semakin bertambahnya anggota
keluarga tentu saja bertambah pula kebtuhan financialnya. Pada saat yang
bersamaan itu pula ia dipindah tugas ke daerah Cik Di Tiro, kampus S2 Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII). Karena beberapa alasan ia dipindahkan
kembali, kali ini beruntung, ia di pindahkan ke Kampus Fakultas Hukum UII yang
berada di Jl. Taman Siswa. Ibarat mendapat durian runtuh, tidak hanya dekat
dari tempat tinggalnya, gajinyapun ikut naik, yang dulunya hanya Rp. 150.000
kini ia mendapat Rp. 1.100.000 per bulan.
Selama bertugas di FH UII, banyak
pengalaman pahit dan manis yang ia rasakan. Pengalaman pahit yang dirasakannya
bukan tentang uang, tapi masalah pembagian tugas, menurutnya kadang apa yang
bukan menjadi tugasnya malah dia yang disalahkan. Jam kerja juga kadang menjadi
beban untuknya, “Wajarnya seorang bekerja dalam sehari itukan 8 jam, tapi kita
12 jam. Ya gak apalah, kita juga ikhlas dan siap dengan konsekuensinya”
ujarnya. Ketika ditanya apakah ia pernah mengadukan ini kepada pihak kampus
atau belum, ia menjawab belum “Kalau saya berontak, istri sama anak saya makan
apa. Semua kan udah ada yang ngatur, jadi kita ya bersyukur aja” Lanjutnya.
Saat kami sedang asyik mengobrol,
tiba-tiba datang seorang mahasiswi mengantarkan surat peminjaman ruangan. “Pak mau
minjem ruangan” Ujar seorang mahasiswi seraya menyodorkan kartu tanda mahasiswa
(KTM). Lalu Pak Arief izin meninggalkan kami untuk membantu mencarikan ruangan.
Setelah selesai dengan urusannya, ia kembali bercerita. Sambil membakar
rokoknya ia menceritakan tentang masa kecilnya.
Sejak
kecil Arief sudah dididik ala militer oleh orangtuanya, selalu diajarkan untuk
tidak mengeluh dan gampang berpangku tangan. Tujuannya antara lain untuk
mengajarkan ia kedisiplinan dan membentuk mental sekeras baja. Pekerjaannya yang
sekarangpun tetap disyukuri, walaupun kadang sebagai satpam sering dianggap
remeh oleh orang lain. Setiap harinya dilalui dengan rasa syukur, dan penuh
harap. Gaji yang ia dapat selama ini sudah termasuk cukup, hidup sederhana
dengan keluarga kecilnya sudah membuatnya bahagia.
Pengalaman
buruknya di masa lalu menjadi pelajaran berharga baginya. “Dulu saya sempat
jualin obat-obatan ke temen SMP mbak, tapi ya cuma obat-obatan biasa, belum
sampe narkoba” Ujarnya. Masa-masa kelam itu dianggap sebagai kenakalan remaja
belaka olehnya. Saat beranjak dewasa kenakalannya masih belum hilang juga,
menjadi preman dan memintai uang kepada masyarakat sekitar. Kenakalannya mulai
luntur saat menginjak umur kepala dua, mulai mengajar ngaji dan memberikan ceramah
ke beberapa rumah. Ini tidak terlepas dari lingkungan tempat tinggalnya yang
berada di daerah pondok. Bahkan pernah pada suatu keadaan, ada 5 orang yang nyantri di rumahnya, walaupun itu tidak
bertahan lama.
Salah
satu prinsip hidupnya juga ia tidak begitu mengejar dunia, ia akan mepersiapkan
kehidupan di akhirat dengan sebaik-baiknya. “Kita kan hidup cuman sementara,
jadi ya buat apa ngejar materi terus, yang sudah pasti itu kan mati. Jadi
itulah yang harus benar-benar kita persiapkan” Ujarnya. Tidak ada yang salah
dengan perkataannya, mungkin ini adalah salah satu cara memperbaiki masa
lalunya yang kelam. “Gini aja deh mas, yang udah pasti itu kan neraka sama
surga, semua orang pasti mau surga. Coba mas duduk di depan kamar jam 12 siang,
sambil liat ke matahari dan ngerenungin dosa-dosa. Pasti panaskan? Itu baru di
dunia loh ya, gemana panasnya neraka?” lanjutnya seraya menirukan orang tuanya
saat menasihatinya dulu.
Jika
sedang tidak sibuk dengan pekerjaannya di kampus, ia biasanya hanya mengobrol
dengan anak-anaknya di rumah, atau pergi memancing. Memancing adalah agenda
wajib pria kelahiran bantul, 34 tahun yang lalu ini. Menurutnya memancing lebih
banyak manfaatnya daripada kongkow-kongkow
tidak jelas bersama teman-teman sebayanya. Menurutnya memancing itu bisa melatih kesabaran, sama seperti dalam
kehidupan. Jika kita sabar, pasti ‘umpan’ yang dilemparkan akan disantap ikan
besar. Kalau gagal, coba lagi!
Aku gak wajib bikin kan, capt ?
BalasHapus