Sabtu, 28 Oktober 2017

Tak Sekadar Corat-coret

Corat-coret di Toilet - Eka Kurniawan
Penerbit GPU, Jakarta, April 2014.
125 halaman.
Saya terpaksa membelinya sebab perbincangan yang lalu dengan teman si penulis buku ini, membikin diri kepalang penasaran. Saya diceritakan dari mana berasalnya kisah Peter Pan--yang menjadi cerpen pembuka di buku ini-- dan siapa kiranya mahluk yang menginspirasinya. Mahluk yang tak kunjung lulus dari kampus selama lebih-kurang 20 tahunan. Bukan karena tak mampu lulus. Tapi dia memang tak mau.

"Pada waktu itu ia sudah dipanggil dengan nama Peter Pan, si tokoh dongeng yang konon tak pernah mau dewasa... ...Bertahun-tahun ia tak juga lulus kuliah, bahkan ketika Tuan Puteri menyelesaikan tingkat doktoral, ia belum juga mendapatkan gelar sarjana. Orang kemudian menuduhnya tak mau menjadi tua, ingin tetap menjadi mahasiswa, tetap merasa berumur belasan tahun dan karenanya ia mulai dipanggil Peter Pan." (Hal. 5)

Hingga akhirnya keberadaan Peter Pan tak ada yang tahu di mana, sebab terlampau sibuk dengan aktifitas politiknya: berjuang melawan pemerintahan yang diktator. Di akhir cerita Tuan Puteri berujar sembari menghibur diri sendiri: "Sebagaimana sering kita baca di novel dan komik. Penjahat  besar yang keji, bengis, kotor dan bau neraka memang susah dikalahkan dan susah mati." Siapa penjahat besar yang dimaksud Tuan Puteri, kupikir aku tak perlu menuliskannya. (Hal. 10)

Corat-coret di Toilet adalah sebuah cerita pengantar tidur, yang karena intisari ceritanya malah bikin otak bekerja lebih keras. Dan karena bahasanya, terdengar laiknya kisah dongeng nomer wahid untuk anak-anak di seantero negeri, bukan karya sastra yang sarat akan kritik. Melewatkan, untuk membacanya, di waktu senggang adalah sebuah kenistaan

0 komentar:

Posting Komentar