Dengar kawan, 2 hari yang lalu, 22 November 2014. Ngayogjazz kembali digelar, kali ini dengan tema "Tung.. Tak..Tuk.. Jazz" terdengar tidak seperti tema memang, tung-tak-tuk-jazz lebih familiar terdengar seperti sebuah intro dari sebuah lagu. Biasanya berasal dari alat musik kendang. Intro sendiri memiliki artian sebagai pembuka sesuatu. Ngayogjazz sendiri diharapkan menjadi sebuah pembuka bagi musisi jazz --khususnya-- untuk terus berkembang dan terus eksis. Konsep-konsep yang ditawarkan Ngayogjazz selalu unik, lokasi yang dipilihpun tidak umum untuk sebuah konser musik jazz. Umumnya musik jazz digelar di gedung-gedung, atau minimal lapangan atau taman di daerah perkotaan. Tapi Ngayogjazz tidak, selalu memilih perkampungan sebagai venue acara mereka.
Konser musik jazz selalu identik dengan 'dompet tebal'. Digelar di gedung-gedung mewah dan tiketnya relatif mahal. Tapi itu tidak berlaku untuk Ngayogjazz, acara ini digelar di desa-desa yang masih benar-benar asri, dan semua acaranya gratis. Musik jazz yang pada awalnya hanya bisa dinikmati oleh orang berduit saja, sekarang tidak. Musik jazz dengan latar sawah dan hujan adalah satu dari beberapa kombinasi sempurna untuk menikmati indahnya hidup.
Namun sayang kawan, tahun ini aku tak dapatkan menyaksikan Ngayogjazz karena beberapa alasan. Tidak seperti tahun lalu. Menyenangkan untuk terus mengingatnya. Memori tentang Ngayogjazz 2013 tentu masih tersusun rapih di otakku, Kawan. Aku tidak akan melupakannya untuk alasan apapun.
***
Saat itu pertengahan November, kau ingat? Kita berangkat bersama 5 teman lainnya --kalau tidak salah. Pada hari H, hujan mengguyur Jogja sejak siang hari. Aku pesimistis apakah kita jadi berangkat atau tidak. Kondisi fisikmu yang mulai meburuk tentu tidak akan menjadi taruhan hanya untuk menonton sebuah acara konser. Namun menjelang isya' hujan reda, kitapun bergegas segera berangkat.
Perlu melewati perkampungan dan persawahan terlebih dahulu untuk mencapai venue acara. Dan macet. Ngayogjazz selalu menjadi primadona baik bagi pendatang ataupun orang Jogja asli. Sudah lebih dari 20 menit kita terjebak dalam kemacetan. Sepanjang perjalanan kita hanya mengobrol tentang hal-hal tidak penting, namun selalu asik saat itu dilakukan denganmu, dan dengan teman-teman yang lain tentunya.
Sesampainya di tempat acara kita langsung menuju ke salah satu panggung, dari lima panggung yang tersedia. Setiap panggung memliki ukuran dan nama yang berbeda-beda. Aku tak ingat satu-persatunya. Yang pertama kita datangi panggung yang relatif kecil aku pikir, dan tidak terlalu ramai. Band yang kita saksikan saat itu sedang memainkan musik tanpa lirik, orang-orang biasa menyebutnya instrumental. Aku coba menikmati musiknya, asik betul memang jazz ini. Aku termasuk orang yang tidak terlalu fanatik dengan musik. Tidak selalu mengerti apa yang hendak disampaikan oleh sang musisi. Tapi mendengarkannya selalu membawa sensasi tersendiri. Bukan begitu kawan? Aku melihatmu sangat enjoy sekali menikmati setiap nada yang kau dengar.
Aku ingat betul lagu-lagu jazz musisi lokal favoritmu: "Terjebak Nostalgia", "Serba Salah" milik Raisa. Lalu beberapa lagu dari Endah N Resha, betulkan? Apa kau masih mendengarkan kawan? Saat ini aku sedang memutar lagu Terjebak Noslagia, boleh kiranya aku menyanyikan beberapa liriknya untukmu?
"Semua yang ku rasa kini
Tak berubah sejak dia pergi
Maafkanlah ku hanya ingin sendiri ku di sini
Namun aku takkan pernah bisa, ku
Takkan pernah merasa
Namun aku takkan pernah bisa, ku
Takkan pernah merasa
Rasakan cinta yang kau beri
Ku terjebak di ruang nostalgia"
Ah, "terjebak di ruang di nostalgia" ya.. Liriknya benar-benar reprentasi suasana hati ini, Kawan. Sudah lama aku ingin menulis hal ini. Menulis hal yang ku rindukan darimu. Aku benar-benar terjebak.
Eh, sampai mana ceriatku tadi? Ah iya baru sampai panggung yang pertama. Setelah merasa puas menikmati panggung pertama kita pergi menuju panggung utama. Letaknya agak jauh, sekitar 200 meter dari panggung pertama. Panggungnya lebih besar dan lebih megah dari 4 panggung lainnya aku pikir. Panggung pertama penuh sesak. Lagipula hujan mulai turun lagi. Mari cari tempat berteduh sambil rehat sejenak. Kita memesan beberapa kopi dan sepiring penuh gorengan. Nampaknya Ngayogjazz ini juga menjadi berkah untuk masyarakat sekitar. Rumah-rumah warga digunakan untuk berjualan, baik itu oleh sponsor acara ataupun menjadi "warung dadakan". Hal ini nampaknya diamini oleh salah satu si empunya warung --yang sedang kita singgahi. Ia merasa senang dengan adanya Ngayogjazz ini. Dan banyak lagi yang di ceritakan oleh si empunya warung tentang acara ini.
Di luar nampaknya hujan sudah mulai reda, panggung utamapun sudah tak begitu padat. Jam ditanganku sudah menunjukan pukul 22.00. Mungkin sudah memasuki acara penutupan. Mari cepatkan langkahmnu, nampaknya akan menjadi malam seru. Sesampainya di panggung utama kita langsung mencari tempat yang pas untuk menyaksikan band berikutnya. Di bawah pohon mangga tinggi besar mungkin menyenangkan. Tepat menghadap ke arah panggung.
Sebelumnya aku sudah memeberitahumu bahwa Jogja hujan dari tadi siang, bukan? Jalanan agak licin, dan becek dimana-mana. Tapi, bau khas setelah hujan itu selalu menakjubkan. Ditambah musik jazz yang sedang dimainkan di panggung itu. Aih, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan? Langit malam juga lumyan cerah. Bulan sedang dalam bentuk hampir bulat. Sesekali aku lihat bintang berkedip. Ikut senang nampaknya menyaksikan pertunjukan ini.
Beberapa kali aku melihatmu mengarahkan pandangan ke langit. Sesekali matamu terpejam. Menarik nafas begitu dalam. Lalu memperhatikan keadaan disekitar. Kau menikmati betul malam itu, Kawan. Musik jazz yang sedang kau dengarkan, suasana perkampungan di malam hari. Seakan nikmat dunia yang sedang kau rasakan ini adalah untuk yang terakhir kalinya.
***
Ngayogjazzpun selesai. Malam yang sungguh indah tentunya. Sudah aku bilang kan, memori tentang Ngayogjazz 2013 tidak akan aku lupakan. Setiap detailnya masih aku ingat betul. Kau percaya padaku kan, Kawan? Sekarang aku tak bisa ber-basa-basi untuk menyakan bagaimana kabarmu atau kau sedang apa. Sejak kepergianmu, tak henti-hentinya kami mengirimkan doa kepadamu. Berharap kau benar-benar tenang disana.
Seingatku, buku yang terkahir kali kau baca adalah Gie: Catatan Seorang Demonstran. Buku yang berisi tentang seorang aktifis mahasiswa yang berjuang melawan ketidakadilan. Dari dulu hingga sekarang, kisah Gie selalu menginspirasi. Kau juga termasuk salah satu yang mengidolakannya. Dulu kau sempat mengutip beberapa perkataannya di twittermu. Kau tahu kawan? Saat ini aku sedang melihat isi timelinemu dulu, aku izin mengutip beberapa. Tertulis pada tanggal 17 Desember 2013: "Nonton film GIE ngerasa pentingnya mahasiswa bagi bangsa,dan satu lagi pentingnya baca buku untuk berbicara". Ahiya, Kawan. Memang begitu, saat ini kami sedang memperjuangkan itu juga.
Kau pekerja keras, optimistis dan tidak mudah menyerah. Begitu yang aku rasakan saat beberapa hari menemanimu dalam masa penyembuhan. Berangkat UAS dengan infus mnenempel di tangan. Belajar untuk UAS samapi larut malam di Rumah Sakit. Pulang pergi Jogja-Jakarta hanya untuk Key-in. Ah, orang taumu pasti bangga denganmu, Kawan.
Oiya, kemarin aku baru selesai membaca novel Gadis Jeruk karya Jostein Gaarder. Ada satu pertanyaan menarik perhatianku:
“Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih? Kamu hanya memilih dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati.”
“Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih? Kamu hanya memilih dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati.”
Apa yang akan kau jawab kawan? Apa?
Aku sedang benar-benar sedang merindukanmu, Kawan.
Canda tawamu, pikiran-pikiranmu, semangatmu.
Namun, kini yang kami miliki kini hanya kenang-kenangan tentangmu.
Doa yang terbaik dari kami untukmu di alam sana, Dang.
Teman yang sudah kami anggap seperti saudara sendiri.
Sepenggal suarumu mencekik batin ruang kelas
Dalam sudut lirikanmu membungkam kaum hawa dan adam
Kita dalah bongkahan liat yang berbuai kepulan asap
Bersumber dalam mulutmu menghantui bagi yang berasap denganmu
Tahunmu adalah tahun genap, harimu penuh kegenapan
kami berbeda darah namun telah semoyang
Harimu genap tahunmu
Tahun genap dimana kegenapan mengabarkan tanpa keabadian
karena keabadian hanya milik Sang Abadi
Terima kasih sepucuk kisah ini
Namun kegalapanlah memelukmu
Hingga berteman dengan sepi
Tubuhmu menyatu dengan tanah
Sepercik kisah merayapi mimpi
Kami tunggu di simpang jaln itu
Kami semua akan menyusulmu
(Raja Iqbal Islamy, 22 April 2014)
Kini kau tahu kawan? Betapa kau sangat dirindukan. Aku belajar banyak tentang arti kehidupan darimu. Tapi hidup itu memang seperti yang kau tulis pada 5 Desember 2013 di twitter: "Ada awal di setiap keadaan, tapi juga ada akhir di setiap keadaan"
Yogyakarta, 24 November 2014
*Tulisan ini untuk Wildan Maulidiar atau Idang, teman yang sudah kami anggap saudara sendiri.
P.S: Kepada siapapun yang sedang membaca tulisan ini, sekiranya dapat mengrimkan doa untuk almarhum. Alfatihah..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus