Dengan nafas terburu—sembari menjaga ritme berjalan agar tak dicurigai—ia berhasil lolos dari pengawasan. Sebuah buku mantera untuk membangkitkan pemikiran yang sudah mati berhasil didapatkan dengan susah payah. Melewati mesin pendeteksi otomatis, penjaga perpustakaan yang kumisnya menyapu bibir, dan tentu saja dari pantauan ‘orang-orang pintar’ yang sejak lama mengincar buku tersebut.
Buku yang berhasil ia dapatkan dari ruang-ruang
gelap perpustakaan kota itu dijaga dengan hati-hati. Dan tentu saja dengan
resiko yang tidak tanggung: nyawa menjadi taruhan. Kenekatannya ini bermula
dari kegelisahannya terhadap angkatan muda Indonesia masa kini: tak punya
gairah, memelihara lingkar lemak, dan hanya pandai membuat sajak-sajak menye
untuk kekasihnya yang buruk rupa namun punya bodi aduhai.
Pada dasarnya ia tak punya gairah apapun terhadap
dunia pergerakan angkatan muda. Namun, sebab keuletannya menaik-turunkan
linimasa jejaring komunikasi, berhasil mengantarkannya pada buku mantera
tersebut: Wow, Ketik Amin di Komentar dan Anda Berkesempatan Memenangkan Buku
Mantera Abad 20.
Melalui undian, ia terpilih mendapatkan buku sakti.
Usut punya usut, yang membuat undian tersebut adalah seorang pustakawan muda
dengan mimpi besar namun tak punya nyali barang sedikit pun. Tentu saja ini
bertolak belakang dengan tampilannya yang serba pongah—cara bicara, gaya
berpakaian, sampai pemilihan warna kontras untuk rambutnya yang diganti setiap
bulan. Sebuah keberanian yang hanya muncul dari narsisme semata. Sebetulnya dia
bisa saja mempelajari buku terlarang tersebut seorang diri, namun terlampau
takut dengan resiko yang akan ditanggungnya seorang diri. Dan dibuatlah janji
antara mereka berdua: gudang lantai 10 perpustakaan kota tepat pukul 16.
Seminggu setelah pertemuan, ia berhasil
menandas-tuntaskan setiap halaman dari buku mantera. Tidak ada yang terlewat
sedikit pun. Tidak ada syarat-syarat khusus untuk dapat mempraktikkan mantera
dari buku tersebut. Nyaris tak ada kesulitan yang berarti. Mula-mula dia ingin
membentuk dirinya menjadi Chairil Anwar. Tak perlu menunggu lama dan mantera
itu memang ampuh adanya: ketika melintasi sebuah upacara pemakaman tetangga,
dengan lantang dan berani ia berteriak “mampus kau dikoyak-koyak sepi!” Semua
mata seolah terpana pada kelahiran Chairil modern dan serta-merta mengatupkan
bibir peziarah yang sedang melapalkan puja-puji.
Aku berhasil menghidupakan kembali pemikiran
Chairil, ujarnya dalam hati. Ternyata mantera tersebut tidak hanya berhasil
membangkitkan pemikiran saja, namun juga sampai perilaku. Dia tak pernah bisa
lagi tidur dengan normal: belum tidur sebelum ayam pertama di kampungnya
berkokok. Keberanian yang dimiliki Chairil juga menular padanya. Sutau ketika
Ayahnya sedang memimpin rapat pemegang saham, dia menyelonong masuk dan tanpa
ada yang berani mencegahnya ia sampai pada samping ayahnya seraya memotong pembicaraan:
Maaf, Ayah. Bukann maksudku lancang. Tapi apakah Ayah punya korek?
Ayahnya tak pernah marah atas kejadian itu, justru
merasa bersyukur karenanya. Anak ini bisa menjadi lebih besar daripada yang
pernah kukira, renungnya saat itu.
Meskipun bisa mengendalikan pemikiran siapa yang
akan dibangkitkan, terkadang ia mengalami kesulitan membedakan batas antara
dirinya dengan pemikiran yang dibangkitkan olehnya. Semuanya terasa begitu
sulit, benang pemisah antara keduanya sangatlah tipis. Namun potensi tersebut
berhasil dimanfaatkan untuk menghasilkan laba dari hasil mengirimkan puisi ke
berbagai media masa—dengan nama pena
yang berbeda-beda pula. Menjadi penyair secara instan, tanpa perlu merasakan kerasnya hidup. Oh,
betapa hidup yang menyenangkan!
***
Ia tahu dengan pasti, banyak angkatan muda yang
bernasib sama dengannya: ingin melakukan hal yang berguna bagi bangsa—atau
katakanlah revolusi—namun terlampau malas, bahkan saking malasanya; malas untuk
memikirkan kenapa bisa begini malas.
Jiwa bisnisnya muncul seketika. Ia pergi ke toko
buku dan membeli sebanyak mungkin buku dari berbagai jenis: dari yang sastra,
sejarah, sains, buku kiri, kanan, tengah, kanan ke kiri-kirian, dan tentu saja
buku Tere Liye tak mungkin dilewatkannya; idola semua golongan dan manusia
paling produktif abad 20. Ruko strategis milik ayahnya menjadi tempat
praktiknya. Prosedurnya mudah saja pasien tinggal datang dan memilih buku untuk
memindahkan pemikirannya, atau bisa membawa sendiri buku yang belum tersedia dan membayar uang
panjar sebagai bukti keseriusan. Dan ketika manteranya dirasa berhasil diwajibkan
mebayar secara penuh.
Iklan telah disebar ke seluruh penjuru kota, bahkan
tv-tv konvensional mengiklankanya secara masif dan serempak: satu jam sekali.
Ketika ditanya jargon apa yang akan disertakan, ia dengan mantap berujar: Menjadi
Tokoh Yang Kamu Idolakan Semudah Onani.
Pada hari pembukaan, tujuh ratus lima puluh delapan
pemuda-pemudi dengan latar belakang berbeda mengantri di tokonya, agar terlihat
pintar dan menjelma tokoh yang diidolakannya. Sebagian besar adalah
pemuda-pemudi yang terlampau malas dan saking malasnya sampai malas memikirkan
kenapa dia malas, namun punya mimpi yang besar, untuk pasien jenis ini sudah ia
duga sebelumnya.
Dan sebagian kecilnya adalah pejabat-pejabat
negara—yang tak punya kemampuan apapun
selain lihai menilep uang—yang menginginkan dipercaya oleh rakyat dan bawahannya
guna melanggengkan jabatannya. Untuk jenis pasien yang ini tak pernah ia duga
sebelumnya. Semuanya keluar dari tempat praktik dengan muka yang sumringah dan
tiba-tiba menjelma tokoh yang diidolaknnya masing-masing.
Ada yang keluar dengan gaya berjalan yang sempoyongan,
bertransformasi menjadi Bob Marley. Meskipun sudah lama mati, ternyata masih
banyak anak muda yang mengidolaknnya. Salah satu di antaranya mengenakan kaos
dengan kuitpannya yang termasyhur “Cintai hidup yang Anda jalani. Jalani hidup
yang Anda cintai.” Kemudian ada lagi yang bertransformasi menjadi Soe Hok Gie, golongan
yang ini termasuk banyak peminatnya, terutama angkatan muda yang
me-nabi-kannya. Kebanyakan keluar pintu dengan wajah optimis, baju di gulung
sampai siku, dengan tangan kiri mengepal ke udara.
Namun ada satu jenis yang terlihat aneh dan
mencolok, keluar dengan dada busung, jalan ala militer, dan tanpa ragu
menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalan. Ternyata ini adalah golongan pejabat negara yang bertransformasi
menjadi Soeharto. Ternyata desas-desus “penak
jamanku tha?” adalah benar adanya.
Bisnis yang digawanginya terlampau moncer untuk
pendatang baru. Pasien yang datang selalu menunjukan kepuasan. Bahkan beberapa
mencoba memodifikasi atau meleburkan antar beberapa pemikir terkenal untuk
saling mengisi satu sama lain. Sejauh ini bisnisnya lancar, dia yang
mengendalikan semuanya dan tak ada rahasia apapun yang bocor terkait
manteranya. Hanya dia yang menguasainya, sejauh ini.
Revolusi sosial tampaknya sedang terjadi, didorong
penemuannya atas mantera tersebut. Berbulan-bulan berjalan, ternyata bisnisnya
mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap sistem kerja dunia. Dia sendiri
tak merasa begitu penting pasiennya ingin menjadi apa, selama orang-orang
tersebut membayarnya dengan sesuai. Dan poof,
semua orang benar-benar menjadi seperti apa yang diinginkannya. Menjadi Stalin,
Gandhi, Soedirman, Michael Jackson, John Lennon, David, Beckham, Soekarno, dan
berbagai macam tokoh berpengaruh dunia.
Namun sebagaimana revolusi apapun di seluruh pejuru
dunia, revolusi selalu menghadapi bendungan yang sangat tinggi dan kokoh.
Gejolak yang timbul karenanya menjadi semakin luas. Berbagai pemikiran dan
ideologi membenturkan dirinya dan ingin menang sendiri atas nama kaumnya. Namun
dia tetap tidak peduli, tugasnya hanya semudah “onani”. Seperti yang menjadi
jargon tokonya. Urusan selain itu dia tak bertanggung jawab.
***
Pustakawan muda yang memberinya buku mantera merasa
senang dengan keadaan saat ini. Perpustakaan semakin ramai, bukan karena orang
sibuk membaca buku. Namun karena sibuk meminjam buku untuk menggandakan
pemikiran, bagi mereka yang tak punya uang untuk membeli buku. Si Pustakawan
merasa senang bukan kepalang, sampai pada suatu malam dia merasa ada sesuatu
yang janggal. Pertemuan singkatnya dengan pemuda di gudang berbulan-bulan lalu
ada yang terasa kurang. Dia coba memikirkankanya berkali-kali dan ketika hampir
menyerah tiba-tiba saja dia ingat: efek samping dari mantera adalah
menghilangkan syahwat atau apapun yang berhubungan dengan nafsu seksual.
Seperti halnya jual beli, setiap hal yang dinginkan harus ditebus dengan hal
lainnya untuk mengisi kekosongan.
Lima bulan berlalu namun tak ada satupun yang
melapor karena kehilangan syahwatnya. Semuanya terasa baik-baik saja. Setiap
orang yang bertansformasi menjadi tokoh idolanya tak sempat memikirkan dorongan
batiniyah semacam syahwat. Mereka hanya sibuk berfikir dan bergerak.
Melanjutkan cita-cita idolanya yang tak selesai karena kalah oleh usia. Tak ada
yang menyadarinya kecuali Si Pustakawan Muda dan pasangan-pasangan dari
‘pasien’.
Disamping terjadi pergolakan revolusi sosial yang
tak bisa dikatakan kecil, terjadi juga berbagai macam skandal perselingkuhan
antar pasanagan dari pasien. Mereka yang ditelantarkan sekian lama oleh
pasangannya akhirnya mencari pemuas untuk birahinya. Angka perceraian yang
diikuti dengan penelantaran anak melonjak tinggi. Pasien-pasien tak peduli: yang terpenting adalah revolusi.
Pada bulan ketujuh, si Pemuda yang sudah menjelma
dukun merasakan suatu kegelisahan di dalam dirinya. Keluarga meninggalkannya,
kekasihnya pun demikian. Mereka tak betah tinggal dengan seseorang yang sudah
berubah secara sifat dan pemikiran. Dia merasakan kesepian yang begitu dahsyat
dan memilih untuk menutup usahanya untuk sementara waktu. Satu-satunya orang
yang perlu ditemuinya adalah si Pustakawan Muda. Mereka perlu menyelasaikan
suatu hal yang terasa mengganjal. Janji telah dibuat dan mereka bertemu:
“Aku merasa ada suatu hal ganjil dari mantera ini,
tapi aku tak tahu itu apa.” ujar si pemuda membuka pembicaraan.
Ada jeda yang cukup lama dan hening menuju
pembicaraan selanjutnya.
“Kau betul, sesuatu hal yang meninggalkanmu harus
diisi suatu hal yang baru. Seperti jual beli. Begitulah manteranya bekerja.
Ketika kau berfikir menjadi sangat rasional kau akan lupa sesuatu yang bernama
perasaan, dalam hal ini syahwatmu telah tercerabut keluar.” Si Pustakawan
memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Kemudian ia melanjutkan, “Aku membaca buku mantera
ini berulang kali, namun aku terngiang pada peringatan dari penulisnya, dan
sayangnya aku lupa menyampaikannya padamu. Aku sudah memikirkannya berulang
kali. Aku tak berani menanggung resikonya
sendiri. Pemikiran bisa dikejar dengan belajar, meskipun tidak akan persis
atau serupa. Tapi aku tak mau jika syahwat tercerabut dan tak bisa
dikembalikan,” ia memberi jeda sebentar. “Resiko yang sangat besar tentu saja,
kawanku. Dan maapkan keteledoranku menyampaikannya padamu.”
Si Pemuda tak bisa berkata apapun, dia tahu sesuatu
yang kosong padanya adalah syahwat itu sendiri. Namun tak merasakannya sampai
seseorang memberitahunya. Mantera itu bisa merubah seseorang menjadi tokoh
idolanya, namun tak bisa membawa waktu kembali. Semuanya sudah terlanjur.
***
Ia tak punya jalan keluar bagi permasalahan yang
sedang dihadapinya. Dengan putus asa menutup tokonya, memecat seluruh
pegawainya, dan menyusun sebuah rencana gila. “Hadapilah kenyataan
mahluk-mahluk pemalas. Wahai kita semua!” Dia berteriak-kegirangan setelah
menyusun rencananya dengan matang, tak ada seorang pun yang mendengarnya.
Kantor sudah sepi-sunyi.
Malam itu ia berjalan ke perpustakaan kota dengan
penuh kebahagiaan. Tidak lupa buku mantera ia taruh di dada laiknya membawa
kitab suci. Dengan langkah pasti ia memasuki perpustakaan. Tentu saja ia tak
bermaksud mengembalikan buku itu kepada si Pustakawan Muda. Ia hanya perlu menyelesaikan sedikit masalahnya.
Setelah memastikan tidak ada orang di dalam, dia
mulai menghidupkan penghitung-mundur-waktu. Satu menit baginya cukup untuk
mempersiapkan segalanya. Dia memasukan mesin peledak ke dalam buku mantera dan
memeluknya seraya terbaring menengadah langit-langit. Tinggal 20 detik lagi,
maka dia, buku mantera, perpustakaan, dan mantera yang masih tersisa akan lenyap
bersamaan dengan bom yang akan meledak.
Dan boom!
Semuanya benar-benar lenyap. Perpustakaan itu kini
menjadi abu, tak tersisa bekas-bekas kehidupan. Mantera-mantera seketika itu
lenyap dan orang-orang pemalas kebingungan, dan seperti biasanya, saking malasnya
sampai malas memikirkan kenapa mereka tiba-tiba menjadi bingung. Si Pemuda tak
langsung meregang nyawa, meskipun tubuhnya sudah hancur berkeping-keping,
sebuah kekuatan menahannya dan suara yang menyerupai Milan Kundera tiba-tiba
berngiang ditelinganya—ya, meskipun tidak dapat dikatakan telinga karena sudah
hancur bentuknya, tapi itu tetaplah telinga: “Jika ingin menghancurkan sebuah
bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan
musnah.”
Banguntapan,
16/11/16
Ditulis untuk
Sutra (Suka Sastra) Litbang LPM Keadilan 2016
P.S. Cerita “Menjadi
Tokoh Yang Kamu Idolakan Semudah Onani” berutang kepada kisah “Bercinta Dengan
Barbie” karya Eka Kurniawan dalam Kumcer Deep
Space-Blue Testimony dan 17 Cerita Lain.
0 komentar:
Posting Komentar