Jumat, 30 Desember 2016

Menjadi Tokoh yang Kamu Idolakan Semudah Onani



Dengan nafas terburu—sembari menjaga ritme berjalan agar tak dicurigai—ia berhasil lolos dari pengawasan. Sebuah buku mantera untuk membangkitkan pemikiran yang sudah mati berhasil didapatkan dengan susah payah. Melewati mesin pendeteksi otomatis, penjaga perpustakaan yang kumisnya menyapu bibir, dan tentu saja dari pantauan ‘orang-orang pintar’ yang sejak lama mengincar buku tersebut. 
 
Buku yang berhasil ia dapatkan dari ruang-ruang gelap perpustakaan kota itu dijaga dengan hati-hati. Dan tentu saja dengan resiko yang tidak tanggung: nyawa menjadi taruhan. Kenekatannya ini bermula dari kegelisahannya terhadap angkatan muda Indonesia masa kini: tak punya gairah, memelihara lingkar lemak, dan hanya pandai membuat sajak-sajak menye untuk kekasihnya yang buruk rupa namun punya bodi aduhai.

Pada dasarnya ia tak punya gairah apapun terhadap dunia pergerakan angkatan muda. Namun, sebab keuletannya menaik-turunkan linimasa jejaring komunikasi, berhasil mengantarkannya pada buku mantera tersebut: Wow, Ketik Amin di Komentar dan Anda Berkesempatan Memenangkan Buku Mantera Abad 20.

Melalui undian, ia terpilih mendapatkan buku sakti. Usut punya usut, yang membuat undian tersebut adalah seorang pustakawan muda dengan mimpi besar namun tak punya nyali barang sedikit pun. Tentu saja ini bertolak belakang dengan tampilannya yang serba pongah—cara bicara, gaya berpakaian, sampai pemilihan warna kontras untuk rambutnya yang diganti setiap bulan. Sebuah keberanian yang hanya muncul dari narsisme semata. Sebetulnya dia bisa saja mempelajari buku terlarang tersebut seorang diri, namun terlampau takut dengan resiko yang akan ditanggungnya seorang diri. Dan dibuatlah janji antara mereka berdua: gudang lantai 10 perpustakaan kota tepat pukul 16.

Seminggu setelah pertemuan, ia berhasil menandas-tuntaskan setiap halaman dari buku mantera. Tidak ada yang terlewat sedikit pun. Tidak ada syarat-syarat khusus untuk dapat mempraktikkan mantera dari buku tersebut. Nyaris tak ada kesulitan yang berarti. Mula-mula dia ingin membentuk dirinya menjadi Chairil Anwar. Tak perlu menunggu lama dan mantera itu memang ampuh adanya: ketika melintasi sebuah upacara pemakaman tetangga, dengan lantang dan berani ia berteriak “mampus kau dikoyak-koyak sepi!” Semua mata seolah terpana pada kelahiran Chairil modern dan serta-merta mengatupkan bibir peziarah yang sedang melapalkan puja-puji.

Aku berhasil menghidupakan kembali pemikiran Chairil, ujarnya dalam hati. Ternyata mantera tersebut tidak hanya berhasil membangkitkan pemikiran saja, namun juga sampai perilaku. Dia tak pernah bisa lagi tidur dengan normal: belum tidur sebelum ayam pertama di kampungnya berkokok. Keberanian yang dimiliki Chairil juga menular padanya. Sutau ketika Ayahnya sedang memimpin rapat pemegang saham, dia menyelonong masuk dan tanpa ada yang berani mencegahnya ia sampai pada samping ayahnya seraya memotong pembicaraan: Maaf, Ayah. Bukann maksudku lancang. Tapi apakah Ayah punya korek?

Ayahnya tak pernah marah atas kejadian itu, justru merasa bersyukur karenanya. Anak ini bisa menjadi lebih besar daripada yang pernah kukira, renungnya saat itu.

Meskipun bisa mengendalikan pemikiran siapa yang akan dibangkitkan, terkadang ia mengalami kesulitan membedakan batas antara dirinya dengan pemikiran yang dibangkitkan olehnya. Semuanya terasa begitu sulit, benang pemisah antara keduanya sangatlah tipis. Namun potensi tersebut berhasil dimanfaatkan untuk menghasilkan laba dari hasil mengirimkan puisi ke berbagai  media masa—dengan nama pena yang berbeda-beda pula. Menjadi penyair secara instan,  tanpa perlu merasakan kerasnya hidup. Oh, betapa hidup yang menyenangkan!
***
Ia tahu dengan pasti, banyak angkatan muda yang bernasib sama dengannya: ingin melakukan hal yang berguna bagi bangsa—atau katakanlah revolusi—namun terlampau malas, bahkan saking malasanya; malas untuk memikirkan kenapa bisa begini malas. 

Jiwa bisnisnya muncul seketika. Ia pergi ke toko buku dan membeli sebanyak mungkin buku dari berbagai jenis: dari yang sastra, sejarah, sains, buku kiri, kanan, tengah, kanan ke kiri-kirian, dan tentu saja buku Tere Liye tak mungkin dilewatkannya; idola semua golongan dan manusia paling produktif abad 20. Ruko strategis milik ayahnya menjadi tempat praktiknya. Prosedurnya mudah saja pasien tinggal datang dan memilih buku untuk memindahkan pemikirannya, atau bisa membawa sendiri  buku yang belum tersedia dan membayar uang panjar sebagai bukti keseriusan. Dan ketika manteranya dirasa berhasil diwajibkan mebayar secara penuh.

Iklan telah disebar ke seluruh penjuru kota, bahkan tv-tv konvensional mengiklankanya secara masif dan serempak: satu jam sekali. Ketika ditanya jargon apa yang akan disertakan, ia dengan mantap berujar:  Menjadi Tokoh Yang Kamu Idolakan Semudah Onani.

Pada hari pembukaan, tujuh ratus lima puluh delapan pemuda-pemudi dengan latar belakang berbeda mengantri di tokonya, agar terlihat pintar dan menjelma tokoh yang diidolakannya. Sebagian besar adalah pemuda-pemudi yang terlampau malas dan saking malasnya sampai malas memikirkan kenapa dia malas, namun punya mimpi yang besar, untuk pasien jenis ini sudah ia duga sebelumnya.

Dan sebagian kecilnya adalah pejabat-pejabat negara—yang  tak punya kemampuan apapun selain lihai menilep uang—yang menginginkan dipercaya oleh rakyat dan bawahannya guna melanggengkan jabatannya. Untuk jenis pasien yang ini tak pernah ia duga sebelumnya. Semuanya keluar dari tempat praktik dengan muka yang sumringah dan tiba-tiba menjelma tokoh yang diidolaknnya masing-masing. 

Ada yang keluar dengan gaya berjalan yang sempoyongan, bertransformasi menjadi Bob Marley. Meskipun sudah lama mati, ternyata masih banyak anak muda yang mengidolaknnya. Salah satu di antaranya mengenakan kaos dengan kuitpannya yang termasyhur “Cintai hidup yang Anda jalani. Jalani hidup yang Anda cintai.” Kemudian ada lagi yang bertransformasi menjadi Soe Hok Gie, golongan yang ini termasuk banyak peminatnya, terutama angkatan muda yang me-nabi-kannya. Kebanyakan keluar pintu dengan wajah optimis, baju di gulung sampai siku, dengan tangan kiri mengepal ke udara.

Namun ada satu jenis yang terlihat aneh dan mencolok, keluar dengan dada busung, jalan ala militer, dan tanpa ragu menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalan. Ternyata ini adalah  golongan pejabat negara yang bertransformasi menjadi Soeharto. Ternyata desas-desus “penak jamanku tha?” adalah benar adanya.

Bisnis yang digawanginya terlampau moncer untuk pendatang baru. Pasien yang datang selalu menunjukan kepuasan. Bahkan beberapa mencoba memodifikasi atau meleburkan antar beberapa pemikir terkenal untuk saling mengisi satu sama lain. Sejauh ini bisnisnya lancar, dia yang mengendalikan semuanya dan tak ada rahasia apapun yang bocor terkait manteranya. Hanya dia yang menguasainya, sejauh ini.

Revolusi sosial tampaknya sedang terjadi, didorong penemuannya atas mantera tersebut. Berbulan-bulan berjalan, ternyata bisnisnya mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap sistem kerja dunia. Dia sendiri tak merasa begitu penting pasiennya ingin menjadi apa, selama orang-orang tersebut membayarnya dengan sesuai. Dan poof, semua orang benar-benar menjadi seperti apa yang diinginkannya. Menjadi Stalin, Gandhi, Soedirman, Michael Jackson, John Lennon, David, Beckham, Soekarno, dan berbagai macam tokoh berpengaruh dunia.

Namun sebagaimana revolusi apapun di seluruh pejuru dunia, revolusi selalu menghadapi bendungan yang sangat tinggi dan kokoh. Gejolak yang timbul karenanya menjadi semakin luas. Berbagai pemikiran dan ideologi membenturkan dirinya dan ingin menang sendiri atas nama kaumnya. Namun dia tetap tidak peduli, tugasnya hanya semudah “onani”. Seperti yang menjadi jargon tokonya. Urusan selain itu dia tak bertanggung jawab.
***
Pustakawan muda yang memberinya buku mantera merasa senang dengan keadaan saat ini. Perpustakaan semakin ramai, bukan karena orang sibuk membaca buku. Namun karena sibuk meminjam buku untuk menggandakan pemikiran, bagi mereka yang tak punya uang untuk membeli buku. Si Pustakawan merasa senang bukan kepalang, sampai pada suatu malam dia merasa ada sesuatu yang janggal. Pertemuan singkatnya dengan pemuda di gudang berbulan-bulan lalu ada yang terasa kurang. Dia coba memikirkankanya berkali-kali dan ketika hampir menyerah tiba-tiba saja dia ingat: efek samping dari mantera adalah menghilangkan syahwat atau apapun yang berhubungan dengan nafsu seksual. Seperti halnya jual beli, setiap hal yang dinginkan harus ditebus dengan hal lainnya untuk mengisi kekosongan.

Lima bulan berlalu namun tak ada satupun yang melapor karena kehilangan syahwatnya. Semuanya terasa baik-baik saja. Setiap orang yang bertansformasi menjadi tokoh idolanya tak sempat memikirkan dorongan batiniyah semacam syahwat. Mereka hanya sibuk berfikir dan bergerak. Melanjutkan cita-cita idolanya yang tak selesai karena kalah oleh usia. Tak ada yang menyadarinya kecuali Si Pustakawan Muda dan pasangan-pasangan dari ‘pasien’.

Disamping terjadi pergolakan revolusi sosial yang tak bisa dikatakan kecil, terjadi juga berbagai macam skandal perselingkuhan antar pasanagan dari pasien. Mereka yang ditelantarkan sekian lama oleh pasangannya akhirnya mencari pemuas untuk birahinya. Angka perceraian yang diikuti dengan penelantaran anak melonjak tinggi. Pasien-pasien tak peduli: yang terpenting adalah revolusi.

Pada bulan ketujuh, si Pemuda yang sudah menjelma dukun merasakan suatu kegelisahan di dalam dirinya. Keluarga meninggalkannya, kekasihnya pun demikian. Mereka tak betah tinggal dengan seseorang yang sudah berubah secara sifat dan pemikiran. Dia merasakan kesepian yang begitu dahsyat dan memilih untuk menutup usahanya untuk sementara waktu. Satu-satunya orang yang perlu ditemuinya adalah si Pustakawan Muda. Mereka perlu menyelasaikan suatu hal yang terasa mengganjal. Janji telah dibuat dan mereka bertemu:

“Aku merasa ada suatu hal ganjil dari mantera ini, tapi aku tak tahu itu apa.” ujar si pemuda membuka pembicaraan.

Ada jeda yang cukup lama dan hening menuju pembicaraan selanjutnya.

“Kau betul, sesuatu hal yang meninggalkanmu harus diisi suatu hal yang baru. Seperti jual beli. Begitulah manteranya bekerja. Ketika kau berfikir menjadi sangat rasional kau akan lupa sesuatu yang bernama perasaan, dalam hal ini syahwatmu telah tercerabut keluar.” Si Pustakawan memilih kata-katanya dengan hati-hati.

Kemudian ia melanjutkan, “Aku membaca buku mantera ini berulang kali, namun aku terngiang pada peringatan dari penulisnya, dan sayangnya aku lupa menyampaikannya padamu. Aku sudah memikirkannya berulang kali. Aku tak berani menanggung resikonya sendiri. Pemikiran bisa dikejar dengan belajar, meskipun tidak akan persis atau serupa. Tapi aku tak mau jika syahwat tercerabut dan tak bisa dikembalikan,” ia memberi jeda sebentar. “Resiko yang sangat besar tentu saja, kawanku. Dan maapkan keteledoranku menyampaikannya padamu.”

Si Pemuda tak bisa berkata apapun, dia tahu sesuatu yang kosong padanya adalah syahwat itu sendiri. Namun tak merasakannya sampai seseorang memberitahunya. Mantera itu bisa merubah seseorang menjadi tokoh idolanya, namun tak bisa membawa waktu kembali. Semuanya sudah terlanjur.
***
Ia tak punya jalan keluar bagi permasalahan yang sedang dihadapinya. Dengan putus asa menutup tokonya, memecat seluruh pegawainya, dan menyusun sebuah rencana gila. “Hadapilah kenyataan mahluk-mahluk pemalas. Wahai kita semua!” Dia berteriak-kegirangan setelah menyusun rencananya dengan matang, tak ada seorang pun yang mendengarnya. Kantor sudah sepi-sunyi. 

Malam itu ia berjalan ke perpustakaan kota dengan penuh kebahagiaan. Tidak lupa buku mantera ia taruh di dada laiknya membawa kitab suci. Dengan langkah pasti ia memasuki perpustakaan. Tentu saja ia tak bermaksud mengembalikan buku itu kepada si Pustakawan Muda. Ia hanya perlu menyelesaikan sedikit masalahnya.

Setelah memastikan tidak ada orang di dalam, dia mulai menghidupkan penghitung-mundur-waktu. Satu menit baginya cukup untuk mempersiapkan segalanya. Dia memasukan mesin peledak ke dalam buku mantera dan memeluknya seraya terbaring menengadah langit-langit. Tinggal 20 detik lagi, maka dia, buku mantera, perpustakaan, dan mantera yang masih tersisa akan lenyap bersamaan dengan bom yang akan meledak.

Dan boom!

Semuanya benar-benar lenyap. Perpustakaan itu kini menjadi abu, tak tersisa bekas-bekas kehidupan. Mantera-mantera seketika itu lenyap dan orang-orang pemalas kebingungan, dan seperti biasanya, saking malasnya sampai malas memikirkan kenapa mereka tiba-tiba menjadi bingung. Si Pemuda tak langsung meregang nyawa, meskipun tubuhnya sudah hancur berkeping-keping, sebuah kekuatan menahannya dan suara yang menyerupai Milan Kundera tiba-tiba berngiang ditelinganya—ya, meskipun tidak dapat dikatakan telinga karena sudah hancur bentuknya, tapi itu tetaplah telinga: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.”


Banguntapan, 16/11/16
Ditulis untuk Sutra (Suka Sastra) Litbang LPM Keadilan 2016
P.S. Cerita “Menjadi Tokoh Yang Kamu Idolakan Semudah Onani” berutang kepada kisah “Bercinta Dengan Barbie” karya Eka Kurniawan dalam Kumcer Deep Space-Blue Testimony dan 17 Cerita Lain.

0 komentar:

Posting Komentar