Sabtu, 24 Desember 2016

Aku Berlari Maka Aku (Akan Terus) Menulis





#40BukuUntuk2016
(Selesai baca: 30/40)
What I Talk Abount When I Talk About Running -Haruki Murakami,
 Bentang, Yogyakarta April 2016.
198 halaman.


Sebuah judul yang terinspirasi dari judul buku lainnya, What We Talk About When We Talk About Love, milik Raymond Carver—penulis yang diidolakan oleh Haruki. Mengibaratkan Lari sebagai Cinta? Ah, yang benar saja? Memangnya tak punya hobi lain yang lebih ‘keren’ sampai begitu fanatiknya? Nah, pertanyaan terakhir adalah yang paling sering diterima Murakami sebagai sesuatu anomali. Baginya mencintai lari bukan sebuah keanehan—seperti yang orang lain stigmakan. Ia hadir sebagai sebuah kecintaan, dan oleh karenanya terkadang melukai hatinya dan pada kesempatan lain membuatnya bergairah.
***
            Saya selalu terkesan kepada orang-orang yang dapat melakukan sesuatu (yang positif) secara konsisten. Misal; orang yang konsisten menjadi pembaca rakus tanpa harus menentukan berapa buku yang harus ia tandaskan selama setahun; Atau orang yang menulis dengan gigih saban harinya tanpa mengabaikan kualitas; Orang-orang yang pergi sembahyang tanpa pernah alpa dan selalu tepat waktu; Juga orang yang masih sempat membikin sarapan, tanpa pernah mengeluh, sebelum waktu kerjanya untuk menyapu jalanan di pagi hari tiba.

            Sesuatu yang coba dituliskan Haruki adalah kerja yang tak mudah—setidaknya banyak orang akan menyerah di tengah jalan. Menjadi penulis—dan ini tentu saja menjadi paket tak-dijual-terpisah  untuk sekaligus menjadi pembaca. Yang pada kedua pekerjaan itu, meskipun terlihat mudah, namun membutuhkan tenaga dan waktu yang banyak. Menjadi pelari—yang tidak hanya sekadar berlari lantas mengunggahnya di media sosial. Bahkan ia kerap mengikuti lari marathon secara rutin. Dan tentu saja mengikuti marathon memaksamu berlatih lari setiap hari, tidak bisa seperti ajakan kencan yang bisa kapan saja dilakukan alias dadakan. Ya, kalau kekasihmu tak bisa diajak kencan secara dadakan, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya..

            Meskipun tak banyak dari kesibukan pribadinya yang diceritakan, tapi tentu itu adalah hal yang sangat melelahkan. Bahkan Haruki selalu berlari pada pagi hari, artinya dia mempunyai siklus tidur “normal”,  menurut kebanyakan orang.  Jika dihitung-hitung ia, kurang-lebih, berlari 10 km setiap harinya. Entahlah saya tak dapat mengira berapa waktu tempuhnya. Sebagai sebuah perbandingan, saya butuh waktu paling cepat 25 menit untuk jarak 3 km, itu pun dengan napas tersendat.

            Bagi Haruki, berlari setiap pagi tak ubahnya ajang memanaskan otot, sebelum nantinya ikut lari jarak jauh. Sama seperti menulis novel, tak bisa jika langsung sekali duduk, perlu ada persiapan yang matang dan panjang. Jangan bayangkan Haruki selalu mencapai garis akhir saat berlomba, dia sendiri mengakui kadang  kalah oleh musuh terbesarnya: dirinya sendiri, terkadang kondisi tertentu tak mampu membuatnya berlari secara maksimal. Begitupun dengan novel-novel yang ditulisnya.

“Menulis novel memiliki kemiripan dengan melakukan maraton penuh. Secara mendasar aku bisa mengatakan bahwa bagi seorang kreator, motivasi adalah hal yang nyata dan tersimpan di dalam diri, bukan hal yang memiliki bentuk atau tuntutan dari pihak lain.”

Tidak hanya marathon, Haruki bahkan kerap mengikuti lomba triatlon internasional, berlari-bersepeda-berenang secara berurutan dalam waktu yang sama. Bisa jadi, bagi sebagian orang ini adalah hal yang biasa, hanya perlu latihan fisik. Lalu bagaimana jika berlari dan menulis dilakuakan secara rutin dan bersamaan? Kalau haruki bilang sih ini perkara “Minat”: Jika seorang memiliki minat pada lari jarak jauh, tanpa disuruhpun mereka akan mulai berlari sendiri. Jika mereka tidak berminat, sebanyak apapun ajakannya akan percuma saja.

Saya lebih banyak tahu penulis yang tidak punya pola hidup sehat, atau katakanlah mati karena memelihara penyakit, ketimbang sebaliknya—seperti Haruki misalnya. Membayangkan seorang penulis yang mati muda karena penyakitnya, saya menjadi terbayang Chairil Anwar, tidak bisa tidak. Mengenai gaya hidupnya, Sapardi dalam “Chairil Anwar Kita” menulis begini: Kematiannya itu, yang umumnya dipandang sebagai akibat kehidupannya yang bohemian, menyebabkan gambaran tentrangnya sebagai “binatanag jalang” tidak pernah berubah.Rekan-rekannya dikarunai umur lebih panjang, suatu hal yang tentu bisa menggeser-geser gambaran masyarakat tentang mereka.

Tentu saja dalam konteks ini kita perlu memisahkan sebauh konsep tentang takdir. Entah bagaimana, saya terbayang konsep “aku berlari maka aku (akan terus) menulis” selepas membaca tuntans memoir tipis dari Haruki ini. Tentu saja ada penulis yang hanya berolahraga ringan—misal membakar sampah seperti Pram—yang mendapat karunia umur panjang dan produkitf dalam menulis. Yang, ya,  walaupun dalam keadaan sakit parahnya, dan menjelang mangkatnya minta dibakarkan tembakau.

Pram sendiri menyadari betapa pentingnya olahraga bagi kegiatan kepenulisannya. “Olahraga membikin tubuh jadi lentur, tidak kaku, tubuh yang kaku adalah sama dengan batang kayu yang telah lapuk, bila ditekuk dia patah. Juga tidak ada guna kepandaian kalau orang tidak bisa menggunakan karena kesehatan tidak mengijinkan. " tandasnya.

            Nyaris mustahil membayangkan seorang penulis sekaligus pelari, dan keduanya memiliki makna yang betulan. Artinya dilakukan secara serius dan konsisiten. Siapa sih yang tidak ingin menjadi sekonsisiten Haruki dalam berlari dan menulis dan setumpuk kegiatan lainnya yang saling menopang?
***
Sebagai sebuah memoir singkat, Haruki dengan entengnya menutup bukunya ‘hanya’ dengan harapan jika nanti mati, ia ingin nisannya diukir kata-kata ini:

Haruki Murakami
1949-20**
Penulis (dan Pelari)
Setidaknya Dia Tidak Pernah Berjalan Hingga Akhir

P.S. Ditulis untuk #40BukuUntuk2016, sebab instagram tak lagi nyaman untuk teks panjang. Entahlah--atau memang dasarnya saja gak rampung-rampung kalau bikin resensi sambil bersosmed ria.

0 komentar:

Posting Komentar