#40BukuUntuk2016
(Selesai baca: 30/40)
What I Talk Abount When I Talk About Running -Haruki Murakami,
Bentang, Yogyakarta April 2016.
198 halaman.
Sebuah judul yang terinspirasi dari judul buku lainnya, What We Talk About When We Talk About Love, milik Raymond Carver—penulis yang diidolakan oleh Haruki. Mengibaratkan Lari sebagai Cinta? Ah, yang benar saja? Memangnya tak punya hobi lain yang lebih ‘keren’ sampai begitu fanatiknya? Nah, pertanyaan terakhir adalah yang paling sering diterima Murakami sebagai sesuatu anomali. Baginya mencintai lari bukan sebuah keanehan—seperti yang orang lain stigmakan. Ia hadir sebagai sebuah kecintaan, dan oleh karenanya terkadang melukai hatinya dan pada kesempatan lain membuatnya bergairah.
***
Saya
selalu terkesan kepada orang-orang yang dapat melakukan sesuatu (yang positif)
secara konsisten. Misal; orang yang konsisten menjadi pembaca rakus tanpa harus
menentukan berapa buku yang harus ia tandaskan selama setahun; Atau orang yang
menulis dengan gigih saban harinya tanpa mengabaikan kualitas; Orang-orang yang
pergi sembahyang tanpa pernah alpa dan selalu tepat waktu; Juga orang yang
masih sempat membikin sarapan, tanpa pernah mengeluh, sebelum waktu kerjanya
untuk menyapu jalanan di pagi hari tiba.
Sesuatu
yang coba dituliskan Haruki adalah kerja yang tak mudah—setidaknya banyak orang
akan menyerah di tengah jalan. Menjadi penulis—dan ini tentu saja menjadi paket
tak-dijual-terpisah untuk sekaligus menjadi
pembaca. Yang pada kedua pekerjaan itu, meskipun terlihat mudah, namun
membutuhkan tenaga dan waktu yang banyak. Menjadi pelari—yang tidak hanya
sekadar berlari lantas mengunggahnya di media sosial. Bahkan ia kerap mengikuti
lari marathon secara rutin. Dan tentu saja mengikuti marathon memaksamu
berlatih lari setiap hari, tidak bisa seperti ajakan kencan yang bisa kapan
saja dilakukan alias dadakan. Ya, kalau kekasihmu tak bisa diajak kencan secara
dadakan, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya..
Meskipun
tak banyak dari kesibukan pribadinya yang diceritakan, tapi tentu itu adalah
hal yang sangat melelahkan. Bahkan Haruki selalu berlari pada pagi hari,
artinya dia mempunyai siklus tidur “normal”, menurut kebanyakan orang. Jika dihitung-hitung ia, kurang-lebih, berlari
10 km setiap harinya. Entahlah saya tak dapat mengira berapa waktu tempuhnya.
Sebagai sebuah perbandingan, saya butuh waktu paling cepat 25 menit untuk jarak
3 km, itu pun dengan napas tersendat.
Bagi
Haruki, berlari setiap pagi tak ubahnya ajang memanaskan otot, sebelum nantinya
ikut lari jarak jauh. Sama seperti menulis novel, tak bisa jika langsung sekali
duduk, perlu ada persiapan yang matang dan panjang. Jangan bayangkan Haruki
selalu mencapai garis akhir saat berlomba, dia sendiri mengakui kadang kalah oleh musuh terbesarnya: dirinya sendiri, terkadang kondisi tertentu tak mampu membuatnya berlari secara
maksimal. Begitupun dengan novel-novel yang ditulisnya.
“Menulis novel memiliki kemiripan dengan melakukan
maraton penuh. Secara mendasar aku bisa mengatakan bahwa bagi seorang kreator,
motivasi adalah hal yang nyata dan tersimpan di dalam diri, bukan hal yang memiliki
bentuk atau tuntutan dari pihak lain.”
Tidak hanya marathon,
Haruki bahkan kerap mengikuti lomba triatlon internasional,
berlari-bersepeda-berenang secara berurutan dalam waktu yang sama. Bisa jadi, bagi
sebagian orang ini adalah hal yang biasa, hanya perlu latihan fisik. Lalu bagaimana
jika berlari dan menulis dilakuakan secara rutin dan bersamaan? Kalau haruki
bilang sih ini perkara “Minat”: Jika
seorang memiliki minat pada lari jarak jauh, tanpa disuruhpun mereka akan mulai
berlari sendiri. Jika mereka tidak berminat, sebanyak apapun ajakannya akan
percuma saja.
Saya lebih banyak tahu
penulis yang tidak punya pola hidup sehat, atau katakanlah mati karena
memelihara penyakit, ketimbang sebaliknya—seperti Haruki misalnya. Membayangkan
seorang penulis yang mati muda karena penyakitnya, saya menjadi terbayang
Chairil Anwar, tidak bisa tidak. Mengenai gaya hidupnya, Sapardi dalam “Chairil
Anwar Kita” menulis begini: Kematiannya
itu, yang umumnya dipandang sebagai akibat kehidupannya yang bohemian,
menyebabkan gambaran tentrangnya sebagai “binatanag jalang” tidak pernah
berubah.Rekan-rekannya dikarunai umur lebih panjang, suatu hal yang tentu bisa
menggeser-geser gambaran masyarakat tentang mereka.
Tentu saja dalam
konteks ini kita perlu memisahkan sebauh konsep tentang takdir. Entah
bagaimana, saya terbayang konsep “aku berlari maka aku (akan terus) menulis”
selepas membaca tuntans memoir tipis dari Haruki ini. Tentu saja ada penulis
yang hanya berolahraga ringan—misal membakar sampah seperti Pram—yang mendapat
karunia umur panjang dan produkitf dalam menulis. Yang, ya, walaupun dalam keadaan sakit parahnya, dan menjelang
mangkatnya minta dibakarkan tembakau.
Pram sendiri menyadari
betapa pentingnya olahraga bagi kegiatan kepenulisannya. “Olahraga membikin tubuh jadi lentur, tidak kaku, tubuh yang kaku
adalah sama dengan batang kayu yang telah lapuk, bila ditekuk dia patah. Juga
tidak ada guna kepandaian kalau orang tidak bisa menggunakan karena kesehatan
tidak mengijinkan. " tandasnya.
Nyaris
mustahil membayangkan seorang penulis sekaligus pelari, dan keduanya memiliki
makna yang betulan. Artinya dilakukan secara serius dan konsisiten. Siapa sih
yang tidak ingin menjadi sekonsisiten Haruki dalam berlari dan menulis dan
setumpuk kegiatan lainnya yang saling menopang?
***
Sebagai sebuah memoir singkat, Haruki dengan
entengnya menutup bukunya ‘hanya’ dengan harapan jika nanti mati, ia ingin
nisannya diukir kata-kata ini:
Haruki
Murakami
1949-20**
Penulis
(dan Pelari)
Setidaknya
Dia Tidak Pernah Berjalan Hingga Akhir
P.S. Ditulis untuk #40BukuUntuk2016, sebab instagram tak lagi nyaman untuk teks panjang. Entahlah--atau memang dasarnya saja gak rampung-rampung kalau bikin resensi sambil bersosmed ria.
P.S. Ditulis untuk #40BukuUntuk2016, sebab instagram tak lagi nyaman untuk teks panjang. Entahlah--atau memang dasarnya saja gak rampung-rampung kalau bikin resensi sambil bersosmed ria.
0 komentar:
Posting Komentar