“Asli dari mana, Mas?” Begitu tanya seorang teman ketika saya pertama kali menginjakan kaki di Jogja. “Pandeglang, Masnya sendiri dari mana?” jawab saya basa-basi. “Pandeglang? Mana tuh? Saya asli Surabaya, Mas”. “Pandeglang.... Daerah Banten, Mas.”
Ah, begitu sakit hati saya ketika banyak yang tak tahu bahwa
Pandeglang masih bagian dari Indonesia. Menghindari kesakit-hati-an saya untuk yang
kesekian kalinya karena Pandeglang, akhirnya saya memilih untuk selalu
memberitahukan bahwa asal saya dari Banten.
“Kenapa Banten begitu mudah dikenal ketimbang Pandeglang?” gumam saya dalam hati. Bukan karena Banten merupakan Provinsi dan Pandeglang hanya sebuah Kabupaten lalu itu menjadi alasan utama, bukan –setidaknya menurut hemat saya. Akhir-akhir ini Banten mendadak terkenal karena ‘Dinasti’nya. Pelopornya tidak lain dan tidak bukan adalah Ratu Atut Chosiah. Kurang lebih selama 12tahun Atut telah memimpin Banten. Pada 2002 ia didapuk menjadi PLT gubernur karena Djoko Munandar (Gubernur saat itu) terjerat kasus korupsi dan 2007 resmi dilantik menjadi gubernur. Dan hebatnya ia adalah Gubernur wanita pertama di Indonesia dan sekarang menjadi gubernur wanita pertama yang masuk penjara.
Terlepas dari kesakit-hati-an saya terhadap Atut dan kroninya,
saya merasa bangga telah dilahirkan disalah satu kota di Provinsi Banten, yaitu
Pandeglang. Walaupun banyak yang menganggap Pandeglang ‘bukan bagian dari
Indonesia’pun saya tetap bangga. Disana saya dilahirkan, tumbuh berkembang, berinteraksi
dan menemukan cinta pertama (#Eh). TIDAK PERNAH ADA YANG BERUBAH DARI
PANDEGLANG. Ia tetap Bersih, Elok, Ramah, Aman, dan Hidup; sama seperti jargon “BERKAH”nya.
Alun-alunnyapun tak ada yang berubah, sejak perantauan saya saat SMA lalu
kembali setelah lulus, benar-benar tidak ada yang berubah. Walaupun ada yang
berubah itu paling hanya rumputnya yang diganti, atau minimal warna catnya.
Khusnudzan saya pemerintah memang sedang tidak fokus
mengurusi masalah tata-kota, mungkin mereka sedang sibuk memikirkan berita-berita
kelaparan di Pandeglang yang tak ada hentinya dimuat di media massa. Itupun
hanya sibuk dipikirkan, tidak diselesaikan.
Masalah kemiskinan jika indikatornya adalah kendaraan pribadi
saya rasa Pandeglang tidak bisa dikategorikan ‘miskin’. Jika anda berkunjung ke
Kota Pandeglang cobalah perhatikan di jalanan, setidaknya anda akan melihat 4
dari 10 pengandara motor adalah anak dibawah umur. Mulai dari yang
berseragam putih-merah sampai putih-abu-abu. Lalu 3 dari 4 motor itu adalah
hasil modifikasi, sebutannya adalah anak resing. Keren bukan? Masih bisa dikategorikan kota yang miskin?
.....Bersambung
Ternyata ini blog asli anda, saya sempat tersesat ke blog yang mengaku-aku anda, dengan wajah yang sama, namun ya begitulah.
BalasHapusAnggap saja anda tak pernah mengunjungi tempat itu dan kita tak pernah berkenalan sebelumnya, tabik! ;)
HapusSelamat kembali ber blog ! Yang terpenting kontinuitas, apapun tulisan dan bagaimanpun kualitasnya. Proses bukankah begitu ? ;)
BalasHapusHaha, aku 'sepenuhnya' paham! :D
HapusMari kita tularkan!
For your next trip, aku tunggu kisahnya di sini dan cuma di sini, juga sebagai tiket yang lain untuk tahu, "cuma ini tiketnya". pasti sepakat dengan virus ini kan? ;)
BalasHapusWoi te, apa kabar lo? Wiih, ternyata lo punya blog juga! Mampir lah ke blog gue disini: http://gilaangromadhon.blogspot.com/ jangan lupa joint site-nya juga Hahaha
BalasHapusUdah lama banget kayanya.. :D
Alhamdulillah baik. Udah gua join balik ya! :D
HapusJangan kapok balik sini lagi. Tabik!